TEMPO.CO, Surabaya - Pembawaannya kalem, tak banyak berkata-kata. Sedikit malu-malu, tapi tak segan melempar senyuman. Gadis itu bernama Neneng, 16 tahun, berasal dari Bandung. Dari jemarinya, puluhan lukisan abstrak maupun potret wajah tamu-tamu penting Surabaya tercipta.
"Neneng ini yang paling produktif di antara adik-adik yang tinggal di sini," kata guru melukisnya, Andi Prayitno, saat ditemui Tempo di Liponsos UPTD Kalijudan Surabaya, Selasa, 26 Juli 2016.
Neneng adalah gadis dengan down syndrome, yakni sebuah kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental yang diakibatkan oleh abnormalitas perkembangan kromosom. Ia menghuni Liponsos sejak 2009 karena terjaring razia Satpol PP saat menggelandang.
Salah satu lukisan potret wajah Sekjen UN Habitat Joan Clos, menjadi cinderamata pada malam gala dinner penyelenggaraan The Third Preparatory Committee UN Habitat di Balai Kota Surabaya. Untuk menyelesaikannya, Andi turut berkolaborasi dengan Neneng. "Butuh waktu sekitar 5 sampai 7 hari untuk bikin ini," ujarnya.
Tak semua lukisan rampung dikerjakan Neneng sendirian. Sebab, melukis potret wajah butuh ketekunan dan kedisiplinan. Itulah mengapa di lukisan, tertera tulisan 'Neneng featuring Andi' atau pembimbing lainnya. "Karena selain saya bantu membuat sketsa dasarnya, saya ikut membetulkan goresannya. Misal bibirnya terlalu merah, giginya kurang bersih."
Sedangkan untuk lukisan bebas, Neneng suka melukis obyek abstrak. Ia juga punya kemampuan unik, yakni bisa "melihat" makhluk halus alias indigo. Tak jarang dalam kondisi tertentu, obyek lukisannya jadi aneh-aneh. "Tiba-tiba ia menggambar sosok perempuan berambut panjang, atau pocong. Saya suka merinding," ujar Andi, tergelak.
Sembari melukis, Neneng punya 'ritual' khusus. Dia wajib diputarkan musik dangdut melalui earphone. Lagunya pun hanya 4-5 buah saja, untuk dimainkan berulang-ulang. "Neneng harus ada musiknya Cita Citata atau Julia Perez," celetuknya. Kalau ia mulai capai, kata Andi, Neneng akan berjoget keliling aula besar tempat anak-anak itu melukis.
Karena memiliki down syndrome, Andi butuh waktu sekitar setahun untuk membuat Neneng akrab dengannya. Sebab, ia berpembawaan halus dan cenderung romantis. "Kalau merasa kurang saya perhatikan, dia akan cemberut lalu menangis di pojokan," katanya.
Bagi Andi, mengajar 48 anak berkebutuhan khusus merupakan tantangan sekaligus pembelajaran tersendiri. Setiap anak memiliki ciri khas dan keunikan masing-masing. Bahkan, meskipun mereka berbeda dibandingkan anak-anak lain seusianya, karya mereka mencerminkan sentuhan khas yang tak ada bandingannya.
"Neneng ini contohnya, kecerdasannya otentik sehingga goresannya sungguh khas. Saya sendiri sampai cemburu dengan kemampuannya," ujar Andi, yang membina anak-anak itu sejak 2011.
Ditanya apa impiannya ke depan, dengan polos Neneng menjawab, "pameran di Perancis."
ARTIKA RACHMI FARMITA