TEMPO.CO, Semarang - Penyapu jalan di Kota Semarang, Jawa Tengah, Sawuji, 50 tahun, tak mampu menahan kejengkelannya saat disalami Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi, pada acara perayaan penghargaan Adipura di halaman Balai Kota Semarang, Senin 25 Juli 2015. “Upah yang saya terima hanya Rp 850 ribu,” katanya.
Hendrar pun kaget, karena jumpah upah itu di bawah standar upah minimum kota. Padahal kota Semarang sudah lima kali berturut turut memperoleh penghargaan Adipura berkat saja tukang sapu jalan semacam Sawuji dan 400 kawannya.
Malah, ujarnya, upah yang dia terima itu bisa berkurang bila dia pulang sebelum waktu kerja. “Kalau pulang duluan sebelum waktunya ya dipotong, kalau tidak masuk tidak digaji, jadi gaji harian dibayar bulanan," kata Sawuji. Upah sebesar itu untuk menyapu ruas Jalan Karangayu hingga Kalibanteng yang jaraknya sekitar 1 kilometer. Dia menyapu jalan sejak pukul pukul 03.30 dini hari hingga pukul 12.00 siang.
Dalam sambutannya Hendrar langsung menegur kontraktor outsourcing yang selama ini mempekerjakan penyapu jalanan yang mestinya memenuhi hak penyapu jalan. "Saya prihatin. Padahal ketentuan Rp 1,9 juta,” kata Hendrar.
Menurut dia, upah seusai UMK itu hak penyapu jalan yang selama ini membantu menjaga kebersihan di lapangan. “Ini sesuatu yang harus njenengan pikirkan," kata Hendrar meminta rekanan penyedia penyapu jalanan.
Dia memberi batas waktu hingga dua bulan agar kontraktor memenuhi upah penyapu jalan sesuai UMK. Hendrar mengancam. Jika batas waktu yang ditentukan tak ada perubahan, pemerintah Kota Semarang akan mengambil alih pengelolaan. “Mereka (kontraktor) kalau bisa ikuti UMK dipertahankan, kalau tidak bisa ya stop saja kontraknya," katanya.
Kepala Dinas Kebersihan Kota Semarang, Ulfi Imran menyatakan upah penyapu jalan yang dikelola pemerintah kota langsung sudah dianggarkan sesuai UMK. Jumlah mereka sekitar 50 orang. “Sedang ratusan lainnya jauh dari itu yaitu rata-rata Rp 850 ribu perbulan,” kata Ulfi.
EDI FAISOL