TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menolak dimuatnya pasal pelibatan TNI dalam Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Terorisme. Ketua Pemimpin Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas mengatakan, bila terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh anggota TNI, dapat menimbulkan masalah baru dalam proses pencarian keadilan.
Menurut Busyro, bila anggota TNI ada yang melanggar, diproses melalui pengadilan militer. "Ada masalah ruwet soal transparansi peradilan karena hakimnya dari kalangan militer," katanya di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Senin, 25 Juli 2016.
Senada dengan Busyro, Direktur The Indonesia Human Rights Monitor (Imparsial) Al Araf mengatakan pemerintah mesti hati-hati dalam membangun ruang baru bagi pelibatan TNI, tanpa membuatnya tunduk dalam keadilan sipil. Bila terjadi penyalahgunaan kekuasaan, seperti penangkapan sewenang-wenang, membuat masyarakat sulit mengajukan tuntutan. "Militer tidak tunduk dalam peradilan umum, melainkan peradilan militer," katanya.
Ia menganggap peradilan militer memiliki akuntabilitas yang kurang jelas. Peradilan militer, kata Al Araf, bukan mekanisme yang adil. "Akan menimbulkan impunitas dan pelanggaran HAM," ucapnya.
Dengan dalih terorisme, sangat mudah memberikan stigma teroris pada seseorang. Hal ini berpotensi mengulang peristiwa terdahulu, saat Orde Baru dapat menuduh pihak yang kritis sebagai komunis. "Gampang aja tinggal tuduh, tangkap, lalu masyarakat mau mengadu ke mana?" tuturnya.
Pelibatan TNI dimuat dalam draf RUU Terorisme Pasal 43B ayat 1 dan 2. Isu ini kembali mengemuka kala Tim Operasi Tinombala yang terdiri atas TNI dan Polri berhasil membunuh Abu Wardah alias Santoso, pemimpin Mujahidin Indonesia Timur di Poso.
AHMAD FAIZ