TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan menemukan delapan jenis pelanggaran HAM pada peristiwa pengepungan Asrama Mahasiswa Papua di Yogjakarta, 15 Juli 2016.
Kesimpulan itu diperoleh setelah melakukan penyelidikan pada 19 – 21 Juli 2016, termasuk mengumpulkan informasi dan data dari LBH Yogyakarta, mahasiswa Papua, Gubernur DIY, Kapolres Yogyakarta, Kapolda DIY, dan mitra-mitra Komnas HAM lainnya.
“Hasilnya ditemukan delapan pelanggaran,” ujar Wakil Ketua Komnas HAM, Ansori Sinungan, pada konferensi pers yang digelar di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat, 22 Juli 2016. Kedelapan dugaan pelanggaran HAM tersebut ditengarai melanggar UU nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU no. 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Para mahasiswa asal Papua dan aktivis pro-demokrasi berencana menggelar aksi damai mendukung Persatuan Pergerakan Pembebasan untuk Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) pada r Jumat siang, 15 Juli 2016. Acara itu dibubarkan ratusan personel gabungan dari Polda, Brigade Mobil, dan organisasi masyarakat lain. Mahasiswa akhirnya dikurung di asrama tanpa bisa keluar sampai keesokan harinya, sehingga mengalami kelaparan. BACA: Mahasiswa Papua Dikepung
Menurut Komnas HAM, pelanggaran pertama berupa pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat dalam peristiwa ini. “Padahal seharusnya pemerintah dan polisi memberi ruang dan perlindungan karena ini merupakan hak kodrati,” Ujar Ansori.
Baca Juga:
Pihaknya juga melihat adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota Kepolisian terhadap mahasiswa Papua yang mencoba keluar dari asrama. “Buktinya banyak di video dan foto,” kata dia.
Selain itu, peristiwa ini juga dinilai merupakan kekerasan verbal yang mengandung unsur rasisme. “Banyak keluar kata-kata seperti yang tertera (monyet, biadab, hitam) oleh anggota ormas,” kata Ansori sambil menunjukkan siaran persnya.
Komnas HAM juga menemukan fakta adanya ormas intoleran yang datang untuk berorasi dan melakukan kekerasan verbal yang rasis di depan asrama. “Ini disaksikan oleh aparat keamanan. Kenapa tidak ada tindak pencegahan?” ujar Ansori. Ia menilai ini adalah tindakan pembiaran oleh aparat yang melanggar HAM.
Komnas HAM juga menyatakan, bahwa pemerintah DIY belum dapat memberikan jaminan kebebasan dan jaminan rasa aman bagi mahasiswa Papua. “Padahal ini penting mengingat adanya Papua Phobia di sini dalam lima tahun terakhir," katanya.
Dalam konferensi pers itu, Ketua tim pemantauan dan penyelidikan peristiwa ini, Natalius Pigai, menuntut Pemerintah DIY untuk meminimalisir phobia ini. “Bisa dengan langkah kongkret pemerintah setempat seperti instruksi dan pernyataan-pernyataan gubernur untuk mencegah dan mengatasi rasisme terhadap Papua,” ujar Natalius.
Instruksi dan pernyataan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono, dinilai memiliki kekuatan yang sangat besar, “Seperti titah raja,” tutur Natalius. Komnas HAM menyayangkan pernyataan Gubernur DIY mengenai separatism yang tidak boleh ada di Yogyakarta yang dimuat dalam harian lokal. “Judulnya hampir setengah halaman, kan bisa jadi multitafsir jadi pengusiran secara halus,” ujar Natalius.
Selain itu mereka juga menemukan adanya penangkapan terhadap delapan mahasiswa Papua tanpa adanya dua alat bukti yang kuat oleh aparat kepolisian. Aparat kepolisian juga melakukan tindakan excessive use of power yang dibuktikan dengan penggunaan senjata, gas air mata, dan pengerahan jumlah aparat yang berlebihan. “Padahal mereka (mahasiswa Papua) tidak melakukan tindakan kriminal,” ujar Natalius.
Sebagai langkah penyelesaian, Komnas HAM meminta Menteri Dalam Negeri memerintahkan pemerintah daerah untuk menjamin keamanan dan kenyamanan hidup orang Papua di Indonesia. Mereka juga telah mendorong kepolisian untuk melanjutkan proses hukum.
IQRA ARDINI | YY