TEMPO.CO, Jakarta - Direktur The Indonesia Human Rights Monitor (Imparsial) Al Araf mengatakan tidak perlu memuat ketentuan pelibatan TNI dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Melihat dari kasus penanganan Santoso, maka sepatutnya pemerintah tidak perlu khawatir terkait masalah dasar hukum pelibatan militer.
Al Araf menuturkan pelibatan militer sudah diatur dalam UU no 34 tahun 2004 tentang TNI pasal 7 ayat 2 dan 3, yang menyebut militer dapat terlibat bila ada keputusan politik presiden. "Karena itu DPR dan pemerintah tidak perlu lagi membahasnya dalam UU anti terorisme," katanya saat dihubungi Tempo, Jumat, 22 Juli 2016.
Pembahasan RUU anti terorisme ini, kata Al Araf, sebaiknya tetap diletakan dalam ranah penegakan hukum. Sehingga pelibatan militer jangan diatur di dalamnya. Terorisme yang dikategorikan tindak pidana sendiri menunjukkan bahwa Indonesia menggunakan pendekatan penegakkan hukum dalam mengatasinya.
Al Araf berujar negara-negara demokrasi menerapkan pendekatan penegakkan hukum, karena akuntanbilitasnya dianggap lebih jelas ketimbang pendekatan model perang. "Karena itu berbahaya dan merusak penegakan hukum dan mengancam HAM," ucapnya.
Pelibatan militer adalah pilihan terkahir jika institusi lain tidak bisa menanganinya. Dengan syarat didasarkan pada keputusan presiden dan bila ancaman terorisme sudah mengancam kedaulatan negara.
DPR lewat Panitia Khusus tengah membahas RUU Terorisme. Ketua Pansus Muhammad Syafi'i menargetkan pembahasan RUU ini akan usai dalam dua kali masa sidang. Ia pribadi menganggap perlu adanya pelibatan TNI dimuat dalam undang-undang tersebut. "TNI punya tupoksi mengamankan negara dari ancaman teroris," ujarnya.
Yang akan ditangani nanti, kata Syafi'i, ancaman yang langsung terkait pada simbol kenegaraan. "Misal ancaman kepada presiden, istana negara, di pesawat udara, kapal laut atau kedutaan besar," kata dia.
AHMAD FAIZ