TEMPO.CO, Jakarta - Polemik seputar ijin lokasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk reklamasi Teluk Benoa di Bali, terus berlanjut. Meski Kementerian Kelautan sudah merilis pernyataan klarifikasi dan menegaskan bahwa pemberian ijin lokasi merupakan konsekuensi dari Perpres No. 51 tahun 2014 tentang kawasan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita), para aktivis antireklamasi Bali masih belum puas.
Koordinator Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI) I Wayan 'Gendo' Suardana mengatakan bahwa ForBALI mengapresiasi pernyataan KKP yang melihat pentingnya peninjauan ulang seluruh upaya pengembangan Teluk Benoa. Namun, ForBALI menyayangkan tidak seriusnya KKP memperjuangkan rekomendasi itu.
Baca Juga:
"Sikap Menteri Susi Pudjiastuti secara prosedural melapangkan jalan reklamasi atas nama Perpres Sarbagita. (Menteri Susi) mengeluarkan 3 (tiga) poin rekomendasi setelah izin lokasi reklamasi diperpanjang, ini yang dinilai sebagai tindakan setengah hati oleh ForBALI," kata Gendo lewat siaran persnya, Rabu, 20 Juli 2016.
Aktivis asal Ubud itu menjelaskan sebagai sebuah institusi negara, akan lebih bijak apabila KKP bertindak konsisten dengan rekomendasinya. "Seharusnya KKP hentikan dulu izin lokasinya, kemudian secara konsisten masuk dalam skenario rekomendasi penghentian upaya pengembangan Teluk Benoa," ujarnya. "Yang jadi pertanyaan mendasar, mengapa rekomendasi tersebut diberikan setelah izin lokasi diperpanjang?”
ForBALI, kata Gendo, menyesalkan tindakan KKP yang mengabaikan penolakan 38 Desa Adat serta membiarkan lewatnya batas akhir respon KKP terhadap permohonan perpanjangan izin lokasi reklamasi yang terjadi secara otomatis. "Dalih-dalih yang diberikan Menteri Susi merendahkan kapasitasnya sebagai pejabat politis dengan wewenang lebih dari administratif," kata Gendo.
Bagi ForBALI pernyataan-pernyataan Menteri Susi terkait izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi seolah-olah mengesankan Menteri KKP tidak memiliki otoritas sama sekali dalam pengelolaan pesisir. "Bu Susi pernah menyatakan, bahwa kalau AMDAL diterima, maka dia akan mengeluarkan izin pelaksanaan reklamasi. Artinya, dia sendiri merasa tidak punya wewenang dalam penghentian sebuah proyek yang bermasalah," ujarnya.
Padahal, kata Gendo, UU Pesisir menekankan adanya asas keadilan, peran serta masyarakat, akuntabilitas, dan keterbukaan, yang seharusnya menjadi landasan bagi Menteri KKP mengambil keputusan soal reklamasi. "Selain itu, Pasal 61 UU No. 27 th 2007 (UU Pesisir) juga jelas menyatakan bahwa pemerintah wajib mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat. Sesungguhnya hak-hak tersebut beserta kearifan lokalnya harus dijadikan acuan dalam pengelolaan pesisir," tutur Gendo.
Pengabaian Susi ini, ujar dia, dianggap menghina perjuangan masyarakat adat Bali yang sudah berlangsung selama empat tahun. "Pembiaran ini menunjukkan bahwa Menteri Susi tidak melakukan perannya selaku Menteri, kecuali sebagai petugas administrasi saja”, ujarnya.
BRAM SETIAWAN