TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo memberikan arahan kepada jaksa dan polisi perihal kebijakan dan diskresi kepala daerah yang tak dapat dipidanakan. Arahan itu disampaikan dalam rapat evaluasi kepolisian dan kejaksaan daerah di Istana Kepresidenan, Selasa, 19 Juli 2016. Selain itu, dua institusi tersebut dilarang memperkarakan tindakan administrasi pemerintah. Tindakan ini dinilai menimbulkan ketakutan dan mengakibatkan seretnya penyerapan anggaran.
Kepala Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar mengatakan kasus ini berkaitan dengan tindak pidana korupsi. "Beliau mengingatkan untuk tidak cepat mengkriminalisasi kebijakan kepala daerah," ujarnya di Markas Besar Polri, Jakarta Selatan, Kamis, 21 Juli 2016.
Boy mengatakan kepolisian akan melaksanakan arahan Presiden dengan baik. Ia menjelaskan, polisi berpedoman terhadap aturan hukum. "Ketika ada anggota yang melanggar, pihak yang mengetahui akan melaporkannya," tutur Boy. Bagi polisi yang mengkriminalisasi kepala daerah, kata dia, akan diberi sanksi teguran dan hukum yang berlaku.
Saat ini, ucap Boy, Polri menangani kasus seperti yang dimaksud Jokowi. "Ada," ujarnya. Namun Boy enggan menjelaskan kasus yang dimaksud. Setelah Presiden memberi arahan, kata dia, ada perubahan penanganan kasus di lembaganya.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Mohammad Rum mengatakan jaksa mengikuti perintah presiden. "Pihak kami harus menangani kasus sesuai dengan arahan Presiden," ujar Rum di kantornya, Kamis, 21 Juli.
Menurut Rum, sampai sekarang belum ada pihak yang diberhentikan. "Kami ikutin, namanya juga perintah Presiden karena untuk menjamin pembangunan ini (harus) berjalan sesuai dengan track," ucapnya.
REZKI ALVIONITASARI | ISTMAN MP