TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, mengatakan permintaan maaf presiden sebagai kepala negara atas tragedi kemanusiaan 1965 tidak ditujukan kepada Partai Komunis Indonesia. Permintaan maaf tersebut, dia mengatakan, adalah penyelesaian kasus secara politis terhadap para korban yang merupakan warga negara.
"Banyak dari korban itu tak bersalah dan tak berkaitan dengan PKI. PKI itu organisasi. Ini minta maaf kepada pribadi korban dan keluarganya," kata Natalius saat dihubungi, Kamis, 21 Juli 2016.
Menurut Natalius, Presiden Joko Widodo hanya memiliki satu cara untuk menyelesaikan kasus tragedi 1965, yaitu rekonsiliasi dan rehabilitasi. Hal ini juga mengacu pada mangkraknya penanganan berkas kasus tersebut di Kejaksaan Agung sejak 2003. Kejaksaan kerap berdalih berkas tersebut minim bukti dan tak jelas siapa pelaku dalam peristiwa yang berawal dari penculikan terhadap para jenderal pada 30 September 1965.
"Harus diakui sebagian besar pelaku dan saksi sudah meninggal dan sulit dimintai pertanggungjawabannya. Komnas HAM sudah menyerahkan bukti-bukti dan kejaksaan bisa melengkapinya karena memiliki kewenangan yang lebih luas," kata Natalius.
Rekonsiliasi dan rehabilitasi, menurut Natalius, sempat menguat ketika sejumlah jenderal dan tokoh justru menggagas simposium Tragedi 1965 pada April lalu. Tapi, Komnas HAM menyesali munculnya sejumlah kelompok kecil yang justru memadamkan semangat rekonsiliasi dengan isu soal peran TNI dan bangkitnya PKI.
"Itu hanya sekelompok kecil yang antirekonsiliasi. Sekarang hanya tinggal apakah ada niat baik atau tidak dari Presiden Joko Widodo," kata Natalius.
Majelis hakim Pengadilan Rakyat Internasional menyimpulkan telah terjadi genosida atau pembunuhan besar-besaran dalam tragedi 1965. Majelis merekomendasikan pemerintah Indonesia meminta maaf dan memberikan kompensasi kepada korban dan keluarga. Selain itu, melanjutkan penyelidikan dan penuntutan terhadap seluruh pelaku.
FRANSISCO ROSARIANS