TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah menurunkan tim untuk menyelidiki dugaan vaksin palsu telah menyebar ke 32 provinsi. Dugaan penyebaran ke 32 provinsi itu karena ada kecurigaan vaksin-vaksin yang beredar dari sumber tak resmi dan berpotensi dipalsukan. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengambil sampel vaksin dari daerah tersebut. “Kami mengerahkan petugas di daerah-daerah secara serentak untuk menemukan peredaran vaksin palsu,” kata juru bicara BPOM, Nelly, saat dihubungi pada Ahad, 17 Juli 2016.
Hingga saat ini, sudah ditemukan 37 fasilitas pelayanan kesehatan di sembilan provinsi yang membeli vaksin dari distributor tidak resmi. Sembilan provinsi yang dimaksudkan adalah Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau. Ia mengaku sempat curiga vaksin palsu beredar di Denpasar, Mataram, dan Palu. “Namun, setelah kami cross-check ke sejumlah pihak, tidak ditemukan vaksin palsu,” ucapnya.
Berkaitan dengan peredaran vaksin palsu di Pekanbaru, Riau, Kepala Dinas Kesehatan Riau Andra Sjafril mengelak saat ditanyai wartawan. Ia mengaku belum menerima hasil pemeriksaan ihwal penemuan dua jenis serum yang diduga dipalsukan. Serum tersebut adalah serum antitetanus dan antibisa ular yang ditemukan di sebuah klinik di Pekanbaru. “Saya belum menerima tindak lanjutnya,” ujarnya.
Anggota Satuan Tugas Penanganan Vaksin Palsu, Arustiono, menuturkan pihaknya masih menelusuri peredaran vaksin palsu di sejumlah daerah. Ia berujar, fokus penelusuran itu sementara adalah Jawa dan Sumatera. “Saat ini tim terus bekerja,” katanya.
Menurut hasil penyidikan Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, puluhan ribu vaksin palsu beredar di Sumatera. Adapun jumlah vaksin palsu di Jawa diperkirakan lebih banyak lagi. Provinsi yang terindikasi menggunakan vaksin palsu antara lain Aceh, Sumatera Barat, Lampung, Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Data ini berbeda dengan data yang dimiliki BPOM.
Presiden Joko Widodo pada Sabtu lalu menyatakan pemerintah sedang mendalami sanksi yang akan dikenakan kepada rumah sakit ataupun para tersangka. Ia berharap Kementerian Kesehatan dan lembaga terkait bisa menyelesaikan kasus ini. “Bisa saja ada yang dicabut izinnya, bisa hanya dapat teguran,” ucapnya. “Semuanya baru dalam proses.”
DEWI SUCI RAHAYU | MAYA AYU P. | RIYAN NOFITRA