TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono mendesak pemerintah menunda eksekusi mati dan menerapkan moratorium sambil menunggu selesainya pembahasan dan disahkannya Rancangan KUHP di Dewan Perwakilan Rakyat.
"DPR telah menyepakati hukuman mati sebagai pidana khusus alternatif," katanya lewat keterangan tertulis, Senin, 11 Juli 2016.
Supriyadi menambahkan, citra tegas yang ditunjukkan Pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan cara mengeksekusi mati menjadi populer di kalangan jaksa dan hakim Indonesia. "Dengan tujuan efek jera, aparat penegak hukum Indonesia berlomba-lomba menggunakan tuntutan hukuman mati," ucapnya.
Berdasarkan catatan ICJR, sepanjang Januari 2015 sampai Juni 2016, jumlah terdakwa hukuman mati oleh jaksa penuntut umum (JPU) pada 2016 berjumlah 26 orang, sementara yang dijatuhi hukuman mati hakim pengadilan negeri berjumlah 17 orang. Kemudian, yang dituntut dan diputus hukuman mati berjumlah 16 orang.
Jumlah terdakwa yang dijatuhi hukuman mati oleh hakim pengadilan negeri pada 2015 berjumlah 37 orang. Adapun total jumlah yang dituntut dan diputus hukuman mati pada 2015 ialah 26 orang.
Baca Juga:
"Dibanding dengan 2015, penggunaan hukuman mati pada 2016 masih tinggi," katanya.
Pada 2016, hukuman mati yang dituntut jaksa dan diputuskan pengadilan dengan jumlah paling tinggi ialah kasus narkotik dan pembunuhan berencana. "Hal ini tidak jauh berbeda dengan kondisi hukuman mati pada 2015," tuturnya.
ICJR menilai, hukuman mati seharusnya semakin jarang digunakan. Kebijakan hukuman mati berbasis efek jera yang selalu digunakan pemerintahan Jokowi menunjukkan kegagalan.
Menurut Supriyadi, kasus terpidana mati yang terjadi di pengadilan Indonesia sifatnya seperti pembalasan, ketimbang menimbulkan efek jera. Karena itu, lembaganya mendorong pengadilan lebih berkualitas memutuskan kasus-kasus hukuman mati. "ICJR masih melihat banyak kelemahan terkait dengan fair trial dalam hukum acara pidana Indonesia," ujarnya.
AHMAD FAIZ