TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie menilai Indonesia membutuhkan lembaga peradilan etika. Berkaca pada negara-negara modern, hampir semuanya telah memiliki undang-undang etika jabatan publik. “Maka negara bisa mengembangkan infrastruktur etik untuk melengkapi kelemahan hukum,” ujar dia di Jakarta Selatan, Kamis, 7 Juli 2016.
Menurut Jimly, peradilan etik dibutuhkan karena di abad ini hukum di Indonesia tidak bisa menjadi andalan satu-satunya. Ia menyebutkan sebuah riset tentang perubahan sikap narapidana yang menemukan bahwa 30 persen napi bertobat usai menjalani kurungan. Namun sebanyak 30 persen lainnya merasa didzalimi sistem hukum yang mengakibatkan mereka dipenjara. Sedangkan 40 persen sisanya, kata Jimly, semakin bertindak kriminal.
Jimly mengatakan saat ini hampir semua lembaga di Indonesia memiliki komite etik atau kode etik. Namun belum ada lembaga yang menaungi persoalan etika. “Suatu hari nanti kita harus punya puncaknya, tempat bandingnya (peradilan etik),” kata dia.
Jimly mengatakan parameter yang bisa digunakan untuk mengadili etika adalah pelanggaran kode etik yang dilakukan seseorang. Mekanisme pembelaan diri pun bisa dilakukan oleh yang tertuduh melanggar kode etik. Namun menurut Jimly, pembelaan harus dilakukan secara terbuka dalam sidang etik. Agar tercapai transparansi bagi hakim dalam memutuskan perkara etika.
Jimly menilai sanksi penjara tidak akan efektif dalam menghukum setiap pelanggar. Selain sanksi hukuman penjara, pelanggar kode etik pun bisa dikenai hukuman pemecatan dari jabatannya. Pemecatan bisa dilakukan apabila yang bersangkutan menduduki jabatan publik untuk menyelamatkan nama baik institusi.
Jimly pun mengapresiasi Undang-Undang Pilkada yang telah disahkan 2 Juni 2016 lalu. Sebab, dalam UU itu tertuang aturan bagi pasangan calon kepala daerah yang terbukti melakukan pidana pemilu bisa dikenakan sanksi diskualifikasi dari pencalonan. “Itu jauh lebih efektif, kalau penjara orang tidak takut,” kata dia.
DANANG FIRMANTO