TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Jimly Asshiddiqie menilai pembahasan revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) soal terorisme tidak lebih penting dibanding langkah nyata mencegah terorisme di Indonesia.
“Saya kira itu bisa saja, cuma menyelesaikan masalah jangan selalu dengan membuat dan merevisi undang-undang,” katanya di Jakarta Selatan, Kamis, 7 Juli 2016.
Jimly menyebutkan salah satu kelemahan Indonesia adalah mengasumsikan penyelesaian masalah dengan undang-undang. Padahal setelah peraturan jadi, belum tentu dilaksanakan optimal. Menurut dia, pembahasan RUU akan menelan waktu lama.
Untuk kasus terorisme, Jimly mengusulkan agar mencegah warga negara Indonesia bergabung ke Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Caranya antara lain dengan mencabut semua paspor WNI yang akan berangkat ke Suriah. Langkah itu bukan tidak adil, sebab WNI juga bisa membuktikan di pengadilan apabila tujuannya mereka ke Suriah bukan untuk bergabung dengan ISIS.
Menurut Jimly, kebijakan pencabutan paspor bisa diterapkan segera. “Itu dipraktikkan saja, jadi semua warga kita yang ikut perang di situ langsung dicabut,” katanya.
Sedangkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Ade Komarudin menilai, peristiwa bom bunuh diri di Markas Polres Kota Surakarta, Selasa, 5 Juli 2016, adalah momentum untuk membahas kembali revisi Undang-Undang Antiterorisme. Meskipun tanpa insiden itu, DPR dan pemerintah bakal tetap melanjutkan pembahasan revisi UU tersebut.
"Tentu soal terorisme menyangkut banyak hal terkait dengan ideologi, pencegahan, pendidikan, dan agama. Kami harus mengakomodasi kepentingan masyarakat," kata Ade kemarin.
Menurut Ade, UU Anti-Terorisme adalah agenda bersama pemerintah dan DPR yang masih harus disempurnakan. Isi setiap pasal undang-undang harus bisa menindak terorisme secara langsung. Pencegahannya pun secara struktural dan intelektual agar tidak terjadi tindakan terorisme.
DANANG FIRMANTO