TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Bhakti Pulungan mengatakan tak mudah mengidentifikasi anak balita yang diberi vaksin palsu. Alasannya, tak ada gejala khusus, baik jangka pendek maupun jangka panjang. "Kalau jangka pendek, biasanya sudah ketahuan satu pekan," katanya saat dihubungi, Selasa, 28 Juni 2016. "Bisa bengkak, infeksi, atau demam."
Aman menuturkan gejala demam tak dapat langsung dikategorikan sebagai akibat pemberian vaksin palsu. Sebab, biasanya anak balita juga mengalami demam setelah diberi vaksin asli. "Jadi dampaknya lebih karena ketidaksterilan alat, bukan vaksin palsunya," ujarnya.
Aman menerangkan vaksin palsu tidak membentuk zat imunitas dan antibodi pada tubuh, sehingga anak balita akan sering terserang penyakit. Selain itu, kemungkinan besar tubuh orang yang diberi vaksin palsu tidak mampu menangkal penyakit tertentu, seperti hepatitis A, tuberkulosis, dan campak. "Tapi, ketika dewasa, biasanya sistem imun terbentuk dari lingkungan. Jadi memang tidak begitu kelihatan dampaknya," tuturnya.
Aman menyarankan anak balita diberi vaksin ulang bila diketahui kerap terserang penyakit. "Pemberian vaksin tergantung kebutuhan, tidak bisa semua langsung diberikan secara bersamaan," katanya.
Kasus vaksin palsu berawal dari banyaknya laporan anak balita yang terganggu kesehatannya dalam beberapa hari terakhir. Badan Reserse Kriminal Polri akhirnya menggerebek pabrik vaksin di Bekasi.
Pasangan suami-istri, Taufiqurrahman Hidayat dan Rita Agustin, sebagai produsen vaksin palsu di Bekasi, turut ditahan. Hingga kini, Bareskrim telah menetapkan 16 tersangka kasus vaksin palsu.
DEWI SUCI RAHAYU