TEMPO.CO, Makassar -Salah seorang warga Sulawesi Selatan yang turut disandera militan Abu Sayyaf adalah Muhammad Mabrur Dahri. Pria berusia 27 tahun itu adalah warga Jalan Ajetappareng, Kelurahan Kampung Pisang, Kecamatan Soreang, Kota Parepare.
"Mabrur baru tujuh bulan jadi pelaut dan bekerja di kapal TB Charles," kata Nirwana, 50 tahun, tante Mabrur kepada Tempo, Selasa 28 Juni 2016.
Mabrur adalah anak yatim piatu. Sejak kecil, kata Nirwana, anak bungsu dari tiga bersaudara itu dirawatnya.
Mabrur resmi diterima berlayar bersama TB Charles sejak November tahun lalu, selepas tamat kuliah di Politeknik Ilmu Pelayaran Makassar. Di kapal pengangkut batubara itu, Mabrur langsung dipercaya sebagai kepala kamar mesin.
Menurut Nirwana, sejak merantau ke Samarinda, Kalimantan Timur, Mabrur belum pernah kembali ke Parepare. Rencananya, Mabrur kembali ke kampung halaman berkumpul dengan keluarga jelang lebaran tahun ini.
"Tapi kenyataan mungkin berkata lain dengan adanya peristiwa ini," kata Nirwana.
Kabar penyanderaan itu awalnya tidak dipercaya oleh keluarga besar Mabrur di Parepare. Menurut Nirwana, semula keluarga menganggap kabar itu diembuskan oleh orang-orang yang ingin menipu.
"Tiga hari setelah itu kami baru percaya setelah ada pernyataan resmi dari pemerintah melalu media," kata Nirwana.
Sehari sebelum disandera, Mabrur masih sempat menghubungi kakaknya yang bernama Muhammad Abrar. Saat itu, kata Nirwana, dia mengabarkan bahwa kapal yang ditumpanginya akan tiba di Samarinda dalam empat hari.
"Sejak saat itu ponsel Mabrur sudah tidak aktif lagi sampai sekarang," ujar dia.
Nirwana tidak dapat berbuat apa-apa setelah mengetahui penyandera meminta uang tebusan mencapai Rp 65 miliar. Dia memohon kepada pemerintah untuk membebaskan ponakannya sama seperti sandera Abu Sayyaf dari KM Brahma 12 lalu.
"Pak Jokowi dan Pak Surya Paloh mohon bantuan untuk menyelamatkan anak kami," ujar Nirwana.
ABDUL RAHMAN