TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengungkapkan telah menemukan adanya kasus vaksin palsu sejak 2008. Saat itu, pihaknya menemukan vaksin yang tidak sesuai dengan persyaratan secara sporadis atau tidak merata.
"Kasus hanya terjadi dalam jumlah kecil," kata pelaksana tugas Kepala BPOM, Tengku Bahdar Johan Hamid, di Jakarta Pusat, Selasa, 28 Juni 2016.
Bahdar mengatakan para pelaku pada umumnya memiliki modus dengan melakukan penjualan vaksin yang melewati masa kedaluwarsa. Selain itu, dia mengaku pihaknya telah memberikan peringatan sejak 2013.
Badan POM, menurut Bahdar, menerima laporan dari perusahaan Glaxo Smith Kline atas dua sarana pelayanan kesehatan yang tidak berwenang melakukan praktek kefarmasian. "Tindak lanjutnya, satu sarana terbukti melakukan peredaran vaksin ilegal," ujar Bahdar.
Kemudian, pada 2014, Bahdar menjelaskan, Badan POM telah melakukan penghentian sementara kegiatan terhadap satu pedagang besar farmasi resmi, yang terlibat menyalurkan produk vaksin ke sarana pelayanan kesehatan ilegal. Tempat itu diduga menjadi sumber masuknya produk vaksin palsu.
Setahun setelahnya, Badan POM kembali menemukan kasus serupa. Produk vaksin ilegal ditemukan di beberapa rumah sakit di daerah Serang. Sampai saat ini, menurut Bahdar, kasus tersebut sedang dalam proses tindak lanjut secara hukum.
Adapun tahun ini, Badan POM dan Badan Reserse Kriminal Mabes Polri menerima laporan dari PT Sanofi-Aventis Indonesia terkait adanya peredaran produk vaksin Sanofi yang dipalsukan. Bahdar mengaku sudah melakukan penelusuran ke sarana distribusi yang diduga menjadi penyalur. Hasilnya adalah CV AM yang diduga melakukan pemalsuan itu menggunakan alamat fiktif.
Sejak 2008 hingga saat ini, Bahdar mengaku sudah melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan kewenangan Badan POM. Ia pun mengakui pihaknya salah karena masih terjadi peredaran vaksin palsu. "Salah Badan POM? Iya, saya akui," tuturnya. "Seharusnya tidak ada lagi di Indonesia. Tapi banyak orang jahat di luar sana dan tantangan hidup semakin berat."
FRISKI RIANA