TEMPO.CO, Jakarta -Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat masih keberatan dengan ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty. Dalam pandangan mini fraksi, Senin, 27 Juni 2016, sore, PKS dan Demokrat memberi catatan mengenai RUU yang rencananya akan disahkan dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Selasa, 28 Juni 2016 besok.
Juru bicara Fraksi PKS di Komisi Keuangan, Ecky Awal Mucharam, mengatakan seharusnya kebijakan tax amnesty didahului dengan adanya reformasi perpajakan. PKS menganggap, masih banyak pasal krusial dalam pembahasan RUU Tax Amnesty yang jika dipaksakan dapat berdampak buruk bagi negara.
PKS menginginkan, pengampunan tak berlaku pada hutang pokok pajak. Ampunan hanya diberikan pada sanksi administrasi berupa denda sebesar 48 persen, serta sanksi pidana. "PKS juga ingin agar tarif tebusan sesuai dengan undang-undang terkait perpajakan, yakni sebesar 30 persen maksimal," ujarnya.
Selain itu, PKS meminta pasal mengenai harta yang dideklarasikan dihapus. Ecky meminta dana repatriasi benar-benar masuk ke sektor riil dan infrastruktur sehingga dapat mendorong penciptaan lapangan kerja. PKS meminta pemerintah agar pemberlakuan holding periode minimal 5 tahun.
Selain itu, PKS mempermasalahkan penerapan tax amnesty hingga 31 Maret 2017. "PKS keberatan dan belum sependapat terkait pasal-pasal krusial tersebut," tuturnya. "Namun, PKS menghargai proses pembahasan oleh Panitia Kerja Tax Amnesty serta Komisi XI dan menyerahkan pengambilan keputusan pada rapat di tingkat paripurna."
Sementara itu, juru bicara Fraksi Demokrat di Komisi XI, Evi Zainal Abidin, mengatakan masih terdapat pasal dalam RUU Tax Amnesty yang belum memenuhi asas manfaat dalam perekonomian, asas keadilan sosial, dan asas tata kelola yang baik. Demokrat menilai, jika tax amnesty menghapuskan pajak terhutang, potensi penerimaan negara tidak akan maksimal.
"Untuk menjaga dan memelihara keadilan serta memaksimalkan penerimaan negara, definisi pengampunan seharusnya hanya dibatasi pada sanksi administrasi dan sanksi pidana perpajakan. Pajak terhutang tetap harus dibayar sebagai bagian dari tarif tebusan," ujar Evi.
Demokrat juga mempermasalahkan pasal mengenai jenis harta yang tidak mempertimbangkan asal-usul harta tersebut, seperti dari tindak kejahatan terorisme, narkoba, perdagangan manusia, dan korupsi. "Dengan tidak mempertimbangkan asal usul harta, sama saja dengan melegalisasi tindak pidana pencucian uang," katanya.
Selain itu, Fraksi Demokrat keberatan dengan tarif tebusan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Seharusnya, keberpihakan bagi UMKM diwujudkan melalui pemberlakuan tarif pajak serendah-rendahnya dalam undang-undang perpajakan lainnya. Namun, Evi berujar, partainya setuju agar RUU tersebut dibawa ke paripurna. "Dengan tetap memperhatikan catatan yang kami berikan," ujarnya.
ANGELINA ANJAR SAWITRI