TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat Dede Yusuf mengatakan pemerintah lalai dalam pengawasan obat-obatan sehingga beredar vaksin palsu di sejumlah tempat. Padahal Undang-Undang Nomor 36 tentang Kesehatan menegaskan bahwa masalah pengadaan, pengawasan, dan distribusi obat-obatan serta vaksin merupakan tanggung jawab pemerintah.
"Jadi pasti ada kelalaian di fungsi pengawasan," katanya di gedung DPR, Jakarta, Senin, 27 Juni 2016. Menurut Dede, kasus ini ditengarai sudah berlangsung sejak 2003. Namun dampak lanjutannya belum diketahui. Sebab, pemerintah diminta menelusuri kasus vaksin palsu ini. "Jangan-jangan hanya puncak gunung es."
Polisi kembali menangkap sejumlah orang yang diduga sebagai distributor vaksin palsu, Senin, 27 Juni. Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Polri menyatakan tersangka diduga membuat vaksin palsu di rumahnya di Kota Bekasi. Polisi sudah menangkap tujuh dari 13 tersangka pembuat, pengedar, dan penjual obat vaksin palsu pekan lalu.
Dede mengatakan, dari tersangka yang tertangkap kemarin, diketahui bahwa produksi vaksin palsu itu sangat mudah. "Gimana dengan industri-industri yang sudah besar lainnya?" ujarnya.
Politikus Partai Demokrat ini menambahkan, bisa saja ada mafia obat-obatan yang mampu memproduksi dengan skala yang jauh lebih besar. "Kami minta pemerintah menarik vaksin yang beredar lalu melakukan booster kembali kepada anak-anak di bawah 2 tahun," tuturnya.
Ia menambahkan, pemerintah telah lalai dalam melakukan fungsi pengawasan. Badan Pengawas Obat dan Makanan menjadi satu-satunya badan yang mengawasi obat yang beredar. Namun ranah BPOM terbatas aturan yang tidak bisa menyidik dan menangkap secara langsung. "Apakah harus ada penguatan di dalam kelembagaan? Apakah undang-undang harus kita ubah?" ucapnya.
Komisi Kesehatan berencana memanggil Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek dan pejabat BPOM.
AHMAD FAIZ