TEMPO.CO, Bandung - Perang komentar di media sosial terkait politik terjadi karena beberapa sebab. Pakar psikologi politik dari Universitas Padjadjaran, Zainal Abidin mengatakan, perang komentar atau opini merupakan akumulasi emosi dari individu pada kelompok yang saling berlawanan.
“Jadi tiap kali ada posting negatif di media sosial terkait tokoh politik, muncul respons keras hingga vulgar dari kedua belah pihak,” ujarnya kepada Tempo, Minggu, 26 Juni 2016.
Penyebab terjadinya kondisi tersebut, karena orang mengalami desensitifikasi atau ketiadaan sensitif lagi ke orang lain. Kondisi itu terjadi karena komunikasi dalam perang komentar berjalan secara tidak langsung. Antara pihak yang berseteru tidak berhadapan langsung secara fisik. “Lawannya tidak kelihatan,” kata dia.
Sebab lainnya karena deindividualisasi, yakni menurunnya kesadaran diri. Pelaku perang komentar merasa dirinya tidak dikenali oleh pihak lawan dan merasa nyaman dalam kelompoknya.
Di kelompok itu orang merasa identitas sosialnya menguat sehingga muncul pula bias. “Semua lawan sama, sementara kalau ada kesalahan individu dalam kelompoknya dianggap wajar,” kata Zainal.
Identitas sosial dalam kelompok yang berperang komentar, bisa menguat hingga menjadi cinta yang luar biasa kepada tokoh yang didukungnya. “Awalnya ada pro dan kontra, lama-lama orang ada yang jadi militan,” ujarnya.
Harapan orang yang rela membela seperti itu bukan balas jasa dari sang tokoh politik, melainkan untuk menguatkan identitas pribadi. Kecuali, ujar Zainal, orang-orang yang bekerja karena faktor bayaran.
Faktor lain dalam perang komentar yakni menurunnya pertanggung jawaban moral individu karena telah bersandar dalam kelompoknya. Kondisi orang di media sosial itu, kata Zainal, tidak selalu identik dengan kehidupan di dunia nyata.
Perang komentar terkait politik di media sosial, menurut Zainal, contohnya terjadi pada akun Presiden Amerika Serikat Barrack Obama, kemudian media sosial yang terkait Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok, Walikota Bandung Ridwan Kamil, serta Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. “Hasilnya bisa berefek negatif dan positif kepada yang bersangkutan,” ujarnya.
Namun yang pasti, kata Zainal, perang komentar di media sosial itu memberikan keuntungan bagi tokoh politik maupun selebritas sehingga ada yang memelihara ruangnya.
Menurut Zainal, konflik di media sosial pada banyak kasus, tidak berujung pada konflik fisik langsung, kecuali pada kasus individu yang saling mengenal seperti teman yang terhitung jarang terjadi.
“Karena perangnya berkelompok dan tidak saling kenal antar pihak,” kata dia. Selain itu, banyak variabel yang bisa menjadikan perang komentar menjadi konflik fisik.
Pelaku perang komentar, menurut Zainal, merupakan golongan anak muda yang tidak punya pengalaman politik. Ketika mereka melihat ada tokoh alternatif sebagai pemimpin, mereka mendukungnya. Selain pendukungnya menjadi militan dengan kecintaan melimpah, mereka bisa jadi buta politik.
Segala informasi yang negatif atau bertentangan dengan keyakinannya tak bisa diterima. “Di psikologi ada seleksi memori, sehingga info negatif akan ditolak,” ujarnya.
Misalnya pada berita Tempo soal aliran dana Rp 30 milyar ke teman-teman Ahok. Respons yang muncul kemudian disampaikan secara emosional dan tidak rasional. “Dalam konteks itu misalnya, profesor atau orang pintar pun seringkali bereaksi emosional,” kata Zainal.
Sosiolog dari Universitas Padjadjaran Budi Rajab menilai, perang komentar pada satu sisi berfungsi sebagai kendali pemerintah. “Keberanian masyarakat meskipun bersuara secara tidak langsung, membuat pejabat publik harus berhati-hati,” ujarnya, Minggu, 26 Juni 2016. Media sosial menjadi saluran emosi orang-orang hingga menjadi perang komentar.
Komentar yang disampaikan diakuinya ada yang keras dan tidak sopan, namun hal itu dinilainya hanya sebatas wacana bukan menjadi tindakan. “Sebab belum terbangun civil society yang bisa mengorganisir menjadi aksi,” kata dia.
Selain itu, komentar yang menghina, merisak orang atu pihak lain, karena pelaku belum memahami Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik sehingga komentar di media sosial dinilainya boleh bebas.
Perang komentar ini menurut Budi, bakal terus berlangsung. Namun konflik di media sosial, tidak serta merta bakal menghasilkan konflik fisik di dunia nyata. “Sebab media tidak bisa langsung mempengaruhi tindakan orang,” katanya.
ANWAR SISWADI