TEMPO.CO, Kendari - Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara menahan dua orang anggota Kepolisian Resor Kota Kendari, karena diduga bertanggung jawab atas penganiayaan terhadap staf Badan Narkotika Nasional Provinsi Sulawesi Tenggara, Abdul Jalil, 25 tahun, pada 7 Juni 2016. Abdul Jalil yang biasa disapa Cili tewas akibat penganiayaan itu.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sulawesi Tenggara Komisaris Besar Agus Sudono mengatakan dua polisi yang ditahan itu bertugas di Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Kendari. Selain menahan dua polisi itu, Polda juga menyita dua senjata api yang digunakan untuk menembak Jalil dan Ambang, kawan Jalil.
“Dua orang yang kita amankan itu yang melakukan penembakan,” katanya kepada Tempo, Selasa, 21 Juni 2016. Agus tidak bersedia menyebutkan identitas dua polisi itu.
Menurut Agus, kedua polisi itu akan dijerat Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ancaman hukumannya di atas lima tahun penjara. Proses penyidikan masih terus dilakukan guna melengkapi berkas perkara. Hingga saat ini sudah diperiksa 13 anggota Polresta Kendari yang turut terlibat pada penangkapan terhadap Jalil.
Agus menjelaskan, selain mengusut penyebab kematian Jalil, pengembangan penyidikan juga dilakukan guna mengetahui apakah penembakan itu sudah sesuai SOP. Hasil penyidikan akan dicocokkan dengan hasil autopsi yang sudah dilakukan tim dokter forensik dari Universitas Hasanuddin, Makassar. “Perlu dipastikan apakah akibat tembakan itu yang mengakibatkan kematian korban,” ujarnya.
Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Sulawesi Tenggara Ajun Komisaris Besar Agung Adi Koerniawan enggan menjelaskan apakah sanksi hanya dijatuhkan kepada dua polisi atau puluhan polisi lain yang ikut dalam penangkapan terhadap Jalil. “Proses hukum masih berjalan,” ucapnya.
Agung menerangkan, berkaitan dengan pemeriksaan pelanggaran kode etik profesi, aparat Propam sudah memeriksa 23 anggota Polresta Kendari yang ikut serta melakukan penangkapan terhadap Jalil. “Apakah dipecat atau tidak, kita tunggu proses hukum pidananya dulu,” tuturnya.
Kuasa hukum keluarga Jalil, Anselmus Masiku, mengatakan pihak keluarga Jalil tetap meyakini penyebab kematian Jalil akibat kekerasan, bukan karena tembakan. Ia mengakui hasil autopsi dokter forensik baru diketahui sebulan lagi, tapi keyakinan keluarga korban seperti itu. “Sekujur tubuh Jalil penuh luka lebam. Bahkan kuku kaki jari kelingkingnya dicabut,” ujar pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Kendari itu.
Jalil yang bekerja sebagai staf di bagian rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Provinsi Sulawesi Tenggara itu ditangkap puluhan polisi dari Polresta Kendari pada Selasa dinihari, 7 Juni 2016. Penangkapan dilakukan di rumah Jalil di Kelurahan Tobimeita, Kota Kendari.
Polisi menuduh Jalil dan Ambang sebagai pelaku kejahatan begal di beberapa lokasi di Kota Kendari. Jalil yang disebut polisi sudah lama diincar juga dituduh melakukan pencabulan. Namun, pada Selasa pagi sekitar pukul 10.00 Wita, orang tua Jalil menerima kabar duka, polisi menyatakan Jalil telah tewas akibat sakit asma dan ginjal.
Ibunda Jalil, Rahmatia, 56 tahun, mengatakan polisi berbohong mengatakan Jalil mati akibat asma dan ginjal. Informasi awal yang diterimanya dari kepolisian, penyebab kematian Jalil karena pendarahan di bagian kaki kirinya akibat tembakan senjata api. Namun, tiba-tiba disebutkan akibat penyakit asma dan ginjal.
Rahmatia meyakini anak ketiganya itu tidak memiliki riwayat penyakit asma maupun ginjal. Kalaupun benar karena kedua penyakit itu, tidak mungkin tiba-tiba meninggal. “Pada saat diambil polisi, anak saya sehat-sehat saja. Saya yakin anak saya dibunuh,” ujarnya. Apalagi saat jenazah Cili tiba di rumah, orang tua dan para kerabat kaget karena pada sekujur tubuhnya penuh luka lebam. Kaki kirinya terdapat luka tembakan. “Anak saya mati karena dianiaya ramai-ramai oleh puluhan polisi,” katanya.
ROSNIAWANTY FIKRI