TEMPO.CO, Bandung - Mahasiswa doktoral ilmu seni rupa dan desain Sekolah Pasca Sarjana ITB, Mohamad Zaini Alif meraih gelar doktor dengan yudisium cumlaude.
Ia dinilai berhasil menyusun dan mempertahankan disertasi dengan sangat baik saat Sidang Terbuka Program Doktor di Aula Timur ITB, Sabtu, 18 Juni 2016.
Zaini meneliti mainan dan permainan anak di suku Baduy Dalam dengan judul disertasi 'Konsep Desain Vernakular Melalui Bentuk Transmisi Nilai Kaendahan Pada Mainan dan Permainan Anak di Baduy Dalam', Banten.
Awalnya pengajar kelahiran 1975 itu mencari mainan dan permainan tradisional yang diperkirakan masih asli di Indonesia. “Karena itu dipilih Baduy Dalam untuk membuktikan dan menjelaskan temuannya,” kata salah seorang promotornya, Setiawan Sabana, Sabtu, 18 Juni 2016.
Ternyata masyarakat Baduy Dalam tak mengenal istilah bermain atau permainan ketika masa anak. Kata ulin (main) yang dipakai berarti kondisi menganggur atau bepergian karena tak ada pekerjaan di kampungnya.
Bermain pun termasuk larangan karena dianggap tidak berguna atau tidak bertujuan. “Kegiatan yang dilakukan disebut pagawean barudak (pekerjaan anak-anak), berupa hasil karya,” kata Zaini.
Karya itu misalnya alat perangkap untuk mendapatkan burung dari susunan kayu dan tali yang disebut kancung. Beberapa lainnya perangkap untuk mendapatkan babi hutan dan satwa lain sebagai hewan buruan, seperti keramba berbentuk seperti peluru besar di dalam sungai.
Kesimpulannya, menurut Zaini, pagawean barudak adalah proses seorang anak melatih kemampuan diri dan keterampilan serta memahami alam sekitar. Temuan lainnya, konsep keberlangsungan masyarakat Baduy Dalam melalui pagawean barudak yakni sebagai media tranmisi nilai-nilai pikukuh (hukum adat).
Namun menurutnya, pagawean barudak ketika ia melakukan riset di sana, tampak berkurang di kalangan anak-anak. Alasannya karena anak punya kegiatan lain bersama orang tua yang menemani tamu.
ANWAR SISWADI