TEMPO.CO, Sleman - Sidang kasus penculikan dokter Rica Tri Handayani oleh anggota organisasi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) digelar di Pengadilan Negeri Sleman, Kamis, 16 Juni 2016. Dokter Rica menjadi saksi untuk kedua penculiknya, Eko Purnomo dan Veni Orinanda.
Sidang penculikan dokter cantik ini justru sering mengulas organisasi Gafatar. Kendati dakwaan jaksa hanyalah pasal penculikan dan membawa lari orang lain, pertanyaan hakim, jaksa dan pengacara banyak menyinggung soal organisasi yang dinilai sesat itu. Sidang yang dipimpin oleh hakim Ninik Hendras Susilowati ini berlangsung lebih dari dua jam untuk mendengarkan keterangan satu saksi saja.
"Saya ikut Gafatar pada 2012, mendaftar dan isi formulir bareng Veni," kata Rica. "Sebelum ke Yogyakarta 12 Desember 2015, saya dihubungi terus dan dikirimi ayat-ayat Quran."
Dokter Rica dan Veni masih memiliki hubungan keluarga. Veni merupakan anak dari buliknya. Rica, Veni dan Eko serta duapuluhan orang anggota Gafatar yang lain berangkat dari Yogyakarta ke Pontianak dengan pesawat terbang pada 30 Desember 2015. Mereka menuju Mempawah Kalimantan untuk mengikuti program hijrah versi Gafatar.
Rica mau ikut itu setelah mendapatkan bujuk rayu dari Veni, yang sehari-hari berprofesi sebagai bidan. Awalnya ia memang menolak. Tapi karena diajak untuk mencari ridho Allah dan jalan yang benar versi Gafatar Rica bersedia ikut program itu.
Sebelum menikah Rica memang telah ikut organisasi ini. Namun setelah menikah dengan Aditya Akbar Wicaksono, ia tidak aktif lagi di Gafatar.
Perempuan yang menetap di Lampung ini sudah mapan secara ekonomi. Dokter Rica mempunyai klinik kecantikan berbasis ilmu kedokteran. Suaminya sedang mengambil pendidikan dokter spesialis lanjutan di Yogyakarta.
Sebelum menghilang bersama Veni dan Eko, Rica menyusul suaminya ke Yogyakarta. Namun beberapa hari kemudian, Rica menghilang. Rica hanya meninggalkan surat yang isinya dia pergi atas kemauan sendiri.
Suami Rica melapor ke polisi bahwa istrinya itu diculik oleh kedua kerabatnya. Polisi melacak dan menemukan dokter Rica pada 12 Januari 2016 di Pangkalan Bun Kalimantan Tengah.
Rica menyatakan, saat dalam perjalanan hijrah itu telepon seluler direset oleh pemimpin kelompok menjelang keberangkatan. Sim card juga diambil sehingga Rica tidak bisa melakukan komunikasi dengan keluarga bahkan suaminya.
Kepada hakim, Rica mengatakan bahwa isi surat yang ia buat untuk suaminya itu mencontoh surat Veni. Dalam surat itu Rica menyatakan bahwa dia ingin berjuang di jalan Allah.
Dokter Rica mengaku mau ikut program Gafatar karena dijanjikan kehidupan yang lebih baik. Dalam pesan singkat yang diterima Rica juga disebutkan banyak bencana dunia akan hancur dan mereka harus memperbaiki itu semua dengan hijrah. Namun sesampai di Mempawah, janji yang diberikan oleh terdakwa ternyata tidak seperti yang diharapkan.
Hakim menanyai Rica soal fase-fase dalam ajaran Gafatar. Rica menjelaskan sejumlah fase yaitu fase sirron, Jahron, hijrah, qital (perang) dan fase madinatul munawwaroh. Dia sangat paham soal ajaran Gafatar.
Ketika ditanya oleh pengacara terdakwa soal penculikan, dokter itu menjawab bahwa dia tidak merasa diculik. "Karena sayang, saya merasa tidak diculik," kata Rica. Ia juga yakin sepupunya itu tidak akan menyakiti dan mencari Ridho Allah.
Saat hakim Wisnu Kristiyanto menanyakan soal ridho Allah sedangkan ia pergi tanpa pamit kepada suami, Rica tidak berpikir sampai di situ. Hakim juga menyayangkan Rica terlalu berbaik sangka kepada sepupu dan suami sepupunya itu.
"Kalau seorang istri pergi tidak pamit suami, gimana mau mencari ridho Allah," kata hakim Wisnu.
Jaksa menjerat kedua terdakwa dengan pasal 328 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penculikan jo pasal 332 ayat 1 ke-2 KUHP tentang membawa lari orang dewasa dan Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHP.
MUH SYAIFULLAH