INFO NASIONAL - Menghadirkan kesejahteraan merupakan satu dari sekian banyak hal yang harus diurus di desa. Sebab, sudah lama warga desa menunggu untuk sejahtera. Apalagi selama ini warga desa selalu berhadapan dengan situasi dan kondisi yang amat dramatis dan miris.
“Karena itulah, dalam memanfaatkan momentum pembangunan masyarakat desa, ada beberapa hal yang harus kita kawal. Salah satunya adalah, bagaimana kita bisa menumbuhkan kembali geliat ekonomi pedesaan,” ujar Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD) Ahmad Erani Yustika pada acara Focus Group Discussion bertajuk “Penyusunan SOP Pengelolaan Keuangan Mikro Desa” yang digelar Direktorat Pengembangan Usaha Ekonomi Desa, Ditjen PPM, Kementerian Desa PDTT di Jakarta, Selasa, 14 Juni 2016.
Baca Juga:
Erani melihat kondisi masyarakat desa hingga kini masih sangat miris, bahkan sebagian di antaranya sudah sangat dramatis. “Kita sering dengar mereka bunuh diri karena panen yang gagal, tidak bisa melaut, PHK, dan macam-macam. Itu peristiwa yang sangat dramatis. Hal ini terjadi sampai hari ini,” katanya.
Kata Erani, jika pemerintah tidak berada di garis terdepan untuk mencegah terulangnya kembali situasi dan kondisi seperti itu, akan berbuah dosa. Bukan hanya dosa dalam arti ruhaniah, tapi juga merupakan dosa moral. “Kita ini berada di lapis atas yang diberi hampir semua sumber daya, mulai dari pendidikan, sumber dana, sampai otoritas. Kita golongan yang punya kewenangan untuk melakukan perubahan. Kita bisa menjadi imam untuk melakukan perubahan,” ucapnya.
Memang, kata Erani, hal itu cukup rumit dan terjal. Namun, semua pihak juga tahu, di sinilah letaknya seluruh komponen bisa bergandengan tangan untuk melaksanakan tanggung jawab itu secara baik dan bertahap. “Pendek kata, salah satu yang berpengaruh adalah sektor keuangan. Dia adalah urat nadi, darah yang mengalirkan ekonomi. Kemajuan suatu negara, tergantung sektor keuangan,” katanya.
Baca Juga:
Erani mencontohkan Singapura, Malaysia, dan Thailand yang bisa maju karena rasio sektor keuangannya yang sangat tinggi. Singapura misalnya, memiliki rasio sektor keuangan sebesar 200 persen dari PDB-nya. Begitu juga Malaysia dan Thailand yang mencapai 110 persen dari PDB mereka. “Anggaran sektor keuangan mereka lebih besar dari ukuran ekonomi. Adapun Indonesia, hanya mampu berada di angka 35 persen saja,” ucapnya.
Untuk meningkatkan persentase rasio sektor keuangan ini, pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) menetapkan level suku bunga yang bisa menarik investor. Dampaknya, banyak negara memang yang ingin masuk ke Indonesia. “Tapi di pihak lain, ini menjadi beban. Itu situasi level nasional. Di desa, keadaannya jauh lebih mengerikan,” tutur Erani.
Selama ini, menurut Erani, ada 3 pelaku yang mencoba memasok dana di desa. Pertama, instrumen yang dibuat negara seperti Kredit Candak Kulak (KCK) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Namun, setiap program yang didesain pemerintah, apapun namanya, selalu diiringi kepentingan birokrasi dan politik. “Inilah yang menyebabkan eksekusi di lapangan tidak sesuai target,” ujar Erani.
Kedua, institusi dari sektor private, salah satunya yang terlihat adalah BRI. Saat ini, kata Erani, perbankan sudah menjangkau desa, termasuk bank asing, Bank Danamon, BII. Mereka punya mimpi yang sama, karena ada peluang pada pendanaan di desa. “Namun ada yang janggal, yakni soal suku bunga kredit. Bunga bank untuk corporate hanya 12 persen, tapi untuk UMKM bisa mencapai 35 persen. Ini kan namanya rentenir yang legal. Daya sedot dan semprot tidak seimbang. Uang disedot lebih tinggi dibanding yang diberikan,” ucapnya.
Lalu yang ketiga, kata Erani, inisiasi yang dilakukan oleh LSM, masyarakat sipil, ormas, dan lain-lain, yang memiliki idealisme dan kepentingan politisnya lebih rendah. “Namun, inisiasi seperti ini sangat sedikit, hanya satu atau desa saja per kabupaten,” ujarnya.
Di tengah situasi ini, menurut Erani, yang bisa dilakukan adalah mengkapitalisasi sumber daya desa, yakni dengan mendorong lahir dan berkembangnya BUMDesa.
Erani menjelaskan, pendirian BUMDesa ini sangatlah penting karena memiliki alasan yuridis formal, yakni ada mandat UU yang harus dilakukan. “Alasan kedua, kita mencoba keluar dari situasi yang penuh masalah. Karena itulah, BUMDesa punya peluang untuk mengkapitalisasi sumber daya dan mengurangi dampaknya,” kata Erani.