TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Alexander Marwata memastikan KPK sangat berhati-hati membuat kesimpulan perbuatan melanggar hukum. "Makanya kami gali dalam penyelidikan, niat jahat, apa motif dari orang yang kami bawa ke persidangan," kata Alex di Gedung DPR, Jakarta, Rabu, 15 Juni 2016.
Menurut Alex, asas kehati-hatian dalam proses penyelidikan dan penuntutan, bertujuan agar hakim pengadilan tidak lagi merasa ragu bahwa seseorang bersalah. Termasuk dalam kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras oleh pemerintah DKI Jakarta.
Dalam kasus tersebut, Alex mencontohkan beberapa saksi yang ditanya penyidik KPK terkait dengan intervensi Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dalam pembelian lahan tersebut. "Dari saksi yang dimintai keterangan, apakah ada intervensi dari NJOP pembelian RS? Tidak ada. Jadi sulit bagi kami, kalau mau naik ke penyidikan, kalau motif itu belum kami dapat," ujar Alex.
Sementara itu, Ketua KPK Agus Rahardjo memastikan KPK belum menghentikan penyelidikan pembelian lahan RS Sumber Waras. Agus mendapat permintaan dari penyelidik untuk menghentikan kasus tersebut. "Kalau ada bukti baru kami proses lagi. Hari ini belum kami putuskan berhenti. Tapi sampai saat ini, laporan ke kami, mereka (penyelidik) tidak menemukan perbuatan melawan hukum," katanya.
KPK, kata Agus, bakal berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan terkait dengan masih ada informasi yang akan digali KPK perihal pembelian lahan tersebut. "Kami akan undang BPK. Diskusi penyelidik kami dan auditor BPK," kata Agus.
Hari ini, KPK kembali menggelar rapat kerja bersama Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Agendanya, melanjutkan rapat kerja pada Selasa, 14 Juni 2016, ihwal pembahasan kasus pembelian lahan RS Sumber Waras. KPK menyelidiki kasus pembelian lahan RS Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak 2015. Saat itu, perwakilan BPK menyerahkan langsung hasil audit kepada Ketua KPK sementara, Taufiequrrahman Ruki.
BPK menyatakan proses pembelian lahan milik Yayasan Kesehatan Sumber Waras senilai Rp 800 miliar pada APBD Perubahan 2014 tidak sesuai prosedur. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dianggap membeli dengan harga lebih mahal dari seharusnya sehingga mengakibatkan kerugian negara Rp 191 miliar.
ARKHELAUS WISNU