TEMPO.CO, Malang - Sebanyak 30 mahasiswa yang menamakan diri Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) ditangkap aparat Kepolisian Resor Malang Kota saat berunjuk rasa di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat, Rabu, 15 Juni 2016.
Mereka diangkut dengan sebuah truk pengendali massa dan dibawa ke Markas Polresta Malang. Seluruh poster dan banner bergambar Bintang Kejora turut disita.
Baca Juga:
Sebelum ditangkap, beberapa mahasiswa AMP terlibat negosiasi yang alot dengan Wakil Kepala Polresta Malang Komisaris Dewa Putu Eka. Tampak juga Kepala Satuan Intelijen Keamanan serta Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Malang, Ajun Komisaris Imam Mustolih dan Ajun Komisaris Tatang Prajitno Panjaitan.
Putu Eka menilai unjuk rasa AMP tidak berizin. Unjuk rasa itu juga bisa meresahkan dan memancing kemarahan masyarakat. Peserta aksi unjuk rasa membawa poster bergambar bendera Merah Putih yang dicoret silang dengan tulisan “Indonesia, no!!! West Papua, yes!!!” Pencoretan bendera merah putih dianggap sebagai penghinaan lambang negara.
“Kami amankan para mahasiswa ini karena beberapa hal, termasuk pencoretan lambang negara,” kata Putu Eka seraya menjelaskan, pihaknya akan mendalami lagi apakah pencoretan lambang negara itu termasuk perbuatan pidana atau ada unsur lainnya.
Mahasiswa AMP memulai aksinya dari kawasan Stadion Gajayana di Jalan Semeru. Lalu mereka berjalan kaki menuju gedung parlemen dan Balai Kota Malang. Rombongan sempat melambatkan langkah saat melintasi Markas Markas Komando Distrik Militer (Kodim) 0833/Kota Malang dan menyuarakan beberapa kecaman terhadap Pemerintah Indonesia. Salah satunya kecaman Indonesia sebagai antek Amerika Serikat dalam perkara Freeport.
Mereka nyaris dihadang sekitar 30 anggota Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI Polri (FKPPI). Polisi segera mencegah penghadangan itu guna menghindari bentrokan antara massa AMP dan FKPPI.
Salah seorang aktivis AMP mengatakan sudah memberitahukan aksi mereka ke polisi. Dia juga menegaskan tidak bermaksud mengusik ketenangan bulan suci ramadan. “Tidak ada unsur SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) dalam aksi kami. Kami hanya menentang tim siluman yang dibentuk Luhut Panjaitan,” teriaknya dari atas truk yang membawa para mahasiswa itu ke Markas Polresta Malang.
Juru Bicara AMP Nhotten Suhuniap mengatakan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua harus diusut tuntas. Yang diusut bukan hanya 14 kasus pelanggaran HAM seperti dirilis Kepolisian Daerah Papua, melainkan pelanggaran HAM sejak 1963 sampai sekarang.
Menurut Nhotten, AMP menolak keterlibatan tim bentukan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan dalam penyelesaian pelanggaran HAM di Papua. Tim bentukan Luhut dianggap tim siluman yang ingin menggagalkan upaya diplomasi Gerakan Pembebasan Rakyat Papua Barat (ULMWP) dan menghambat tim pencari fakta dari Pasific Island Forum.
Nhotten mengatakan, seharusnya Komisi Nasional HAM yang menangani pelanggaran HAM di Papua. “Bukan tim siluman bentukan Luhut. Itu hanya tipu muslihat pemerintahan sekarang,”
ABDI PURMONO