TEMPO.CO, Bengkulu – Demo berujung bentrok pada Sabtu 11 Juni lalu terjadi persis di depan halaman kantor perusahan tambang batu bara PT Citra Buana Seraya di Desa Lubuk Unen Baru Kecamatan Merigi Kelindang Kabupaten.
Pada saat itu ratusan warga, yang menolak kehadiran tambang batu bara bawah tanah, memaksa masuk untuk menemui langsung pimpinan perusahaan. Namun, mereka dihadang ratusan aparat yang berjaga, dari petugas keamanan perusahaan, polisi dan TNI.
Kerusuhan tidak terelakan. Polisi menembakan peluru karet dan mengenai sembilan orang warga. Beberapa warga mengalami luka-luka akibat dipukul petugas saat terjadi bentrokan. Suasana semakin memanas, seorang warga sempat membacok anggota polisi hingga mengalami luka berat di bagian kepala dan punggung.
Aksi berdarah ini berawal dari penolakan warga dari 12 desa yang ada di Kecamatan Merigi Sakti dan Merigi Kelindang. Warga telah beberapa kali melakukan aksi, mendatangi pemerintah daerah dan berbagai pihak meminta rencana penggalian tambang bawah tanah itu dihentikan.
Namun penggalian tambang terus berjalan. Pada awal tahun ini, perusahaan mulai membangun jalan masuk ke lokasi dan menggali terowongan sepanjang 17 meter di lahan seluas 4 hektar di Desa Lubuk Unen Baru Kecamatan Merigi Kelindang.
Untuk menjangkau lokasi pertambangan, kita harus melintasi jalan desa sekitar 40 Km dari jalan lintas Kabupaten Bengkulu Tengah ke Kabupaten Kepahiang. Kondisi jalan berbatu dan berlobang membuat waktu tempuh menuju ke lokasi cukup melelahkan sekitar 4 jam.
Daerah ini pun termasuk kategori daerah tertinggal di Bengkulu. Padahal Kabupaten Bengkulu Tengah hanya berjarak kurang dari satu jam dari Kota Bengkulu. Kondisi akses jalan masuk ke desa terlihat sangat memperihatinkan. Kondisi rumah warga terlihat memprihatinkan sehingga kebanyakan tidak layak huni.
Berdasarkan Rilis Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkulu Tengah, September 2015 lalu, jumlah jumlah penduduk miskin di daerah ini mencapai 8,75 ribu jiwa atau 8,22 persen. Sebagian besar warga terdapat di daerah terpencil seperti Kecamatan Merigi sakti dan Merigi Kelindang.
Lokasi pertambangan PT CBS berada cukup jauh dari pemukiman warga. Area disekitarnya masih terlihat hutan dan semak belukar. Pada lokasi itu terdapat kantor perusahaan dan perumahan milik karyawan perusahaan. Sementara dibagian belakang, yang terletak sekitar 250 meter dari kantor, terdapat terowongan berdiameter sekitar 3 Meter.
Di jalan menuju pintu terowongan, ada rel besi menuju ke dalam terowongan. Bubuk pasir batubara berwarna hitam memenuhi sepanjang jalan tanah ke lokasi terowongan. Disisi kananya terdapat lubang bekas galian sedalaman sekitar 10 meter.
Alat-alat penggalian, dan mesin-mesin pengolahan batu terlihat berserakan di bagian depan terowongan. Timbunan sampel batubara pun berserakan, ditinggal para pekerjaa, yang berhenti bekerja pasca kerusuhan.
Lokasi penambangan ini berjarak sekitar 2 KM dari desa. Namun menurut warga, lokasi penambangan ini merupakan jalan lintasan warga ke desa sebelah dan biasa digunakan warga jika ke kebun.
“Jika tambangnya terbuka, kita bisa tahu jalan mana yang aman kita lewati. Kalau tertutup seperti ini kita kan tidak tahu jika ada lubang dibawahnya,” kata Iqbal (32), salah seorang warga Desa Lubuk Unen Baru.
Ketakutan warga terhadap tambang bawah tanah, menurut Iqbal, belajar dari pengalaman ambrolnya lokasi penggalian tambang di Semidang Bukit Kabu. Mereka tidak ingin hal serupa terjadi di daerahnya. Apalagi kondisi Desa Lubuk Unen dan sekitarnya merupakan area perbukitan dan rawan terhadap longsor.
Iqbal mengaku tidak antipenambangan asalkan tambang itu merupakan tambang terbuka. Selain warga bisa melihat secara langsung bekas galiannya, warga juga bisa meminta ganti rugi jika penggalian melintasi lahan milik warga.
“Tapi jika tambang bawah tanah, kita kan tidak tahu nanti kemana saja mereka menggali karena letaknya di bawah tanah. Termasuk jika melintas di lahan kita, kita tidak mendapat ganti rugi,” kata petani kopi ini.
Iqbal sendiri mengaku memiliki tanah tidak jauh dari lahan milik perusahaan seluas 1 hektar lebih. Hingga saat ini, dia mengaku belum ada permintaan pembelian dari perusahaan.
Berdasarkan info yang dikumpulkan Tempo, lahan pertambangan milik PT CBS saat ini pun dibeli dari warga dengan harga berkisar Rp 50 – Rp 100 Juta per hektar. Ini merupakan hasil negosiasi warga dan manajemen perusahaan.
Iqbal mengaku akan menjual tanahnya seharga Rp 100 juta jika perusahaan mau membeli. Tapi dia memberi syarat yaitu penambangan dilakukan terbuka bukan di bawah tanah.
Sementara itu Ketua Forum Masyarakat Rejang Gunung Bungkuk, Nurdin, mengatakan konflik lahan terjadi sejak pemerintah melakukan program Tata Guna Hutan Kesepakatan pada sekitar tahun 1991. Ini membuat lahan kelola rakyat menyempit.
Akibat perluasan kawasan hutan, banyak kebun, dan pemakaman penduduk termasuk ke dalam kawasan hutan. Ini membuat sebagian masyarakat tidak memiliki tanah garapan.
Tanah yang ada saat inilah yang dimanfaatkan masyarakat untuk berkebun dan berladang. Hanya saja lahan itu pun tidak dapat bertahan lama. Ini karena perusahaan pertambangan berdatangan dan banyak warga menjual tanah mereka. Pola penambangannya dilakukan secara terbuka (open pit). Dan ini membuat warga setempat mendapatkan ganti rugi yang cukup.
Namun saat PT CBS menyatakan akan melakukan penambangan bawah tanah, warga menolak. Ini karena warga tidak mendapat ganti rugi jika penggalian di lakukan di bawah tanah milik masyarakat.
"Kalau tambang tertutup, kami takut ambruk, kami tidak dapat melihat sejauh mana dampak aktivitas pertambangan. Tambang tertutup membuat desa kami bagaikan perangkap yang setiap saat bisa mengancam kehidupan kami,” kata Nurdin.
Selain mengeluhkan pertambangan tertutup, masyarakat juga mempertanyakan sosialisasi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang dilakukan hanya pada tataran kepala desa, Sekdes, dan Badan Perwakilan Desa.
Nurdin menyampaikan rasa kecewanya terhadap perusahaan yang tidak berkomunikasi langsung kepada masyarakat.
"Sosialisasi dilakukan hanya pada tingkat perangkat desa, dan disampaikan di sebuah hotel. Sementara kita masyarakat hanya diberikan surat edaran, tanpa ada sosialisasi langsung," kata dia.
Kepala Desa Lubuk Unen Baru, Jawawi, mengakui beberapa kali mengikuti pertemuan dengan pihak PT CBS. Hanya saja dia mengikuti pertemuan itu pada akhir-akhir ini saja sejak proses penggalian di lakukan.
“Saya tidak mengikuti prosesnya sejak awal, sehingga tidak terlalu tidak tahu soal perizinan karena saat itu saya belum menjadi kades," kata dia.
Kepala teknik Tambang PT CBS, Danu Ardianto, menilai ketakutan warga berlebihan. Dia beralasan hasil survei tim ahli perusahaan menunjukkan bahwa lokasi pertambangan bisa dilakukan bawah tanah.
"Konsesi PT. CBS mencapai 2.600 hektar, hingga saat ini kita baru empat hektar yang dieksploitasi dan dibuat terowongan. Lagipula tidak semua kawasan konsesi akan kita garap karena belum tentu ada batu baranya," kata Danu.
Pihak perusahaan sendiri siap bersepakat dengan warga untuk mencari alternatif lain. Sayangnya warga hanya meminta tambang ditutup.
"Maunya masyarakat itu cuma satu, tutup tambang. Tidak ada alternatif lain. Padahal perusahaan telah memenuhi segala syarat dan ketentuan," ujarnya.
PHESI ESTER JULIKAWATI