TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Perencanaan Pertahanan Kementerian Pertahanan Marsekal Muda Muhammad Syaugi mengatakan Indonesia membutuhkan satelit pertahanan. Namun, untuk saat ini, kata dia, yang perlu dilakukan pemerintah adalah mengamankan slot Satelit 123 Bujur Timur yang kosong.
"Ada aturan main, kalau dalam waktu tertentu tidak diisi akan hilang," kata Syaugi di Gedung DPR, Jakarta, Senin, 13 Juni 2016. Syaugi menambahkan hal tersebut diperlukan sambil menunggu Indonesia mempunyai satelit sendiri.
Proses pengadaan satelit sendiri, kata Syaugi, memakan waktu lama 3-4 tahun. Alasannya, kata dia, Indonesia perlu menyewa satelit untuk mengisi slot kosong tersebut. "Nanti kami ganti dengan yang dibeli," tuturnya.
Menurut Syaugi, dalam rapat kabinet, Presiden Joko Widodo telah memberikan arahan yang jelas. Presiden meminta Kementerian Pertahanan mengamankan slot satelit yang kosong tersebut.
Syaugi menambahkan anggaran untuk uang muka menyewa satelit berkisar di US$ 2,5 juta. "Nanti kami minta ke Kementerian Keuangan," tuturnya.
Dalam uraian rencana pengadaan satelit Kementerian Pertahanan, tertulis bahwa kebutuhan pembiayaan tahun anggaran 2015 adalah US$ 5,002 juta. Tahun anggaran 2016 sebanyak US$ 275,47 juta. Tahun anggaran 2017 senilai US$ 296,87 juta dan tahun anggaran 2018 sebesar US$ 197,38 juta. Lalu pada tahun anggaran 2019, Kementerian Pertahanan membutuhkan dana US$ 30,33 juta. Dan terakhir di tahun anggaran 2020, butuh US$ 44,28 juta.
Dalam laporan itu, tertulis bahwa saat ini pengadaan satelit GSO (Geo Stationary Orbit) belum memiliki anggaran. Oleh karena itu, Kementerian Pertahanan memohon diskresi presiden untuk penganggaran satelit. Tertulis juga bahwa Kementerian Pertahanan sedang menyiapkan proses penawaran satelit itu. Sebagai bagian dan persyaratan untuk mempertahankan slot 123 derajat.
AHMAD FAIZ | ANGELINA ANJAR SAWITRI