TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Dewan Pers, Imam Wahyudi, mengatakan pihaknya akan membuat standar peliputan untuk bencana. Menurut dia, para wartawan yang bertugas meliput bencana harus yang sudah profesional. “Mereka ditugaskan ke daerah berbahaya, harus dilatih dulu,” katanya di Jakarta, Senin, 13 Juni 2016.
Menurut Imam, masih ada media yang tidak profesional memberitakan bencana. Misalnya saat erupsi Gunung Merapi 2010. Ada satu media elektronik yang mencantumkan opini yang sifatnya menghakimi.
Terdapat isu awan panas dari Gunung Merapi akan mencapai jarak 60 kilometer. Ia mengatakan media tersebut memberitakan dan menyebut Yogyakarta sebagai kota malapetaka. Padahal isu awan panas hanya berasal dari narasumber yang belum bisa dibuktikan kebenarannya.
Imam mengatakan masih ada wartawan yang menanyakan perasaan korban yang tengah tertimpa bencana, hanya untuk mengejar rating. “Ekspresi sedih, histeris, jadi santapan yang diinginkan,” ujarnya.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan pihaknya telah memberikan pelatihan kepada 150 wartawan perihal kebencanaan pada 2012.
Ia menilai, wartawan yang akan meliput ke daerah bencana harus punya pengetahuan yang memadai dan tahu cara bertahan hidup. Namun langkah BNPB terganjal saat wartawan harus dirotasi ke bidang lainnya oleh pemimpin redaksi.
Menurut Sutopo, wartawan yang ditugaskan di daerah bencana harus yang militan dan terlatih. Sebab, dalam pelatihan yang telah diberikan, terdapat materi kegiatan operasi SAR, survival, hingga manajemen kebencanaan.
Meski begitu, ke depan, pihaknya masih akan memberikan pelatihan untuk para wartawan agar mampu meliput kondisi bencana secara profesional.
DANANG FIRMANTO