TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan Kejaksaan Agung tidak terganggu dengan pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri. Prasetyo meyakini masih ada dokter yang siap untuk melaksanakan hukuman kebiri.
"Saya rasa tidak semua dokter mengelak (dari menjadi eksekutor hukuman kebiri). Dilihat nanti seperti apa," kata Prasetyo kepada awak media di kompleks Kejaksaan Agung, Jumat, 10 Juni 2016.
Ketua Umum IDI Ilham Oetama Marsis, Kamis, 9 Juni 2016, mengatakan lembaganya menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri dengan pertimbangan hal itu bertentangan dengan Kode Etik Kedokteran. Adapun risiko dari melanggar kode etik adalah dikeluarkan dari organisasi profesi.
Keengganan IDI ini berpotensi menimbulkan polemik. Sebab, eksekusi hukuman kebiri tidak bisa dilakukan sembarangan. Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa hukuman kebiri tidak bersifat permanen, tapi bersifat temporer lewat suntik zat kimia.
Prasetyo melanjutkan, eksekusi hukuman kebiri akan dibebaskan dari jerat Kode Etik Kedokteran karena sudah diatur lewat Perpu Perlindungan Anak. Karena itu, seharusnya dokter tak perlu takut melanggar kode etik yang lebih lemah dibandingkan UU.
"Seperti polisi melakukan eksekusi mati dengan menembak, itu tidak bisa disalahkan. Tak ada yang mau menembak orang, tapi undang-undang sudah memerintahkan hal itu," ujar Prasetyo.
Mengenai penolakan ini, Prasetyo mengakui lembaganya sudah berkomunikasi dengan Kementerian Kesehatan. Kementerian sudah memahami hal itu dan akan mengambil langkah penyelesaian. "Untuk eksekusinya sendiri, karena sudah ditandatangani Presiden Joko Widodo, saya rasa kami sudah bisa menerapkannya," tutur Prasetyo.
ISTMAN M.P.