TEMPO.CO, Jakarta -Mangara Monang Siahaan, aktor senior dan politikus senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tutup usia pada pukul 04.00 WIB, Jumat 3 Juni 2016 di Rumah Sakit Siloam, TB Simatupang, Jakarta Selatan. Mangara menghembuskan nafas terakhirnya setelah sepekan dirawat karena penyakit Myelodysplastic Syndrome atau Sindroma Mielodisplast, yang dideritanya.
"Sudah sejak Januari lalu Bapak menderita penyakit kelainan darah itu," kata Carter Siahaan, anak kedua Mangara saat dihubungi Tempo, Jumat 3 Juni 2016.
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menuturkan, Mangara Siahaan adalah saksi sejarah Megawati Soekarnoputri di awal-awal keputusannya terjun ke politik praktis, masuk Partai Demokrasi Indonesia hingga turbulensi politik demokrasi di masa orde baru. Ia menjadi saksi mata Megawati membangun PDI Perjuangan, dan mengawali transisi demokrasi di negeri ini.
Lahir di Pematang Siantar, 19 April 1947, Mangara yang juga aktor pemain film yang pernah populer dengan film Binalnya Anak Muda ini adalah orang dekat Megawati dan Taufiq Kiemas, yang tiap hari-hari mengawal keduanya mengambil keputusan politik bagi perkembangan demokrasi termasuk mengantarkan Megawati ke Istana, memimpin Indonesia.
Ia menemani Megawati mendengarkan suara rakyat, dan memperjuangkan perbaikan bagi negeri ini. Mangara adalah tangan dan sahabat Megawati, ketika putri Bung Karno itu tak lagi di Istana, memperjuangkan Indonesia memasuki babak baru, termasuk memilih dan mengantarkan Joko Widodo menjadi Presiden.
SIMAK: Aktor dan Politikus Senior Mangara Siahaan Tutup Usia
Salah satu bukti sejarah adalah, bagaimana Mangara menjadi saksi ketika putri Bung Karno itu mengawali seluruh proses perjalanan politiknya menuju Istana Merdeka. Kepada Tempo dalam beberapa kali pertemuan, Mangara menuturkan kisah sejarah yang terjadi pada 1987.
Suatu hari, Mangara diajak Megawati pergi ke rumah Nyonya Supeni, Ketua Partai Nasionalis Indonesia. Di situ, ternyata sudah ada para sesepuh tokoh nasionalis, yang berkumpul menunggu Megawati. Rumah Supeni berada di Jalan Sriwijaya II nomor 19 Jakarta Selatan itu tidak asing bagi Mangara, karena ia sering ke rumah itu.
Ada sekitar 20 orang yang duduk di ruang tamu, meluber ke ruang tengah. Mereka diantaranya BM Diah, Manai Sophiaan, Abdul Madjid dan banyak tokoh lagi berdiri. Setelah bersalaman, Megawati duduk di tengah, dengan bibir senyum. Setelah berbasa-basi sebentar, Megawati lalu bertanya maksud ia diundang dalam pertemuan para sesepuh, sore itu. "Ada apa Om dan Tante memanggil saya?" Megawati bertanya seperti ditirukan Mangara kepada Tempo.
Suasana hening sejenak. Lalu Supeni menjelaskan bahwa mereka ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada Megawati yang diwakili Manai Sophiaan. Ternyata ayah Sophan Sophiaan itu ditunjuk sebagai juru bicara para sesepuh nasionalis pada sore itu untuk bertanya kepada Megawati.
Sejenak kemudian Manai Sophiaan mengajukan pertanyaan. " Anak kami mau kemana? kok masuk PDI zaman Soeharto." Berceritalah para tokoh ini, tentang kekhawatiran mereka akan situasi politik terakhir. Mereka mencemaskan, mengapa Megawati terjun ke dunia politik dan masuk PDI, partai yang sepenuhnya masih di bawah kendali orang-orang anti Soekarno dan yang berkolaborasi dengan rezim Soeharto. Lagipula, kabarnya ada komitmen keluarga Bung Karno untuk tidak masuk politik praktis.
Banyak yang cemas, jika Megawati masuk, sikapnya akan terkontaminasi, apalagi jika kemudian bisa larut dalam permainan yang dikembangkan lawan politiknya. Dan jika Megawati masuk dalam permainan politik, posisi Megawati sebagai simbol perjuangan Bung Karno akan semu.
Mega hanya tersenyum. Ketika penjelasan itu selesai, Megawati lalu berkata menyambut. " Sudah bicaranya? Aku naar Merdeka Utara," kata Megawati. Naar Merdeka Utara, dalam bahasa Belanda merujuk kawasan Rijswijk di jalan Merdeka Utara, Istana Presiden. Jawaban penuh optimisme ini, kemudian mengantarnya menjadi Presiden RI ke-5.
Jawaban Megawati yang ringkas dan tegas membuat ruangan menjadi hening. Peristiwa itu hanya berlangsung beberapa menit, dan tak ada pertanyaan. Supeni langsung menutup silaturahmi dengan jamuan makan. Padahal pertemuan ringkas itu, belakangan Mangara tahu pertemuan itu telah dirancang berhari-hari.
Menurut Mangara, Megawati sudah keputusannya masuk politik pada awal 1987 tentu bukan asal masuk. Ia mengaku menyakini, Megawati memiliki agenda dan mimpi ketika memutuskan melangkah ke dunia politik, termasuk mengajak Mangara dan sejumlah anak muda seperti artis Sophan Sophiaan ikut bergabung.
" Dan kenyakinan itu terjawab di awal tahun 1987, dan saya tak pernah mengira, saya menjadi saksi sejarah yang hidup, dan mengawali seluruh proses perjalanan politik Megawati hingga sampai Istana Merdeka, kelak. " kata Mangara.
WIDIARSI AGUSTINA