TEMPO.CO, Semarang - Sejumlah lembaga swadaya di Semarang, Jawa Tengah, memprotes pernyataan Kepolisian Resor Kota Besar Semarang Komisaris Besar Polisi Burhanudin karena melabeli stigma negatif terhadap siswa sekolah dasar, PR (11 tahun), korban kekerasan seksual.
Burhanudin mengeluarkan pernyataan yang dikutip media bahwa yang dialami PR bukan bentuk pemerkosaan, penodaan, bahkan tak ada unsur paksaan. Burhanudin menyatakan PR menjadi korban karena pergaulan dan termakan bujuk rayu.
“Kami mendesak polisi mengklarifikasi atau meluruskan kembali penyataannya melalui media serta meminta maaf kepada korban dan keluarga atas label negatif terhadap korban,” kata Koordinator Forum Pengada Layanan untuk Perempuan dan Anak Korban Kekerasan, Eko Roesanto, Kamis, 2 Juni 2016.
Eko menyatakan pernyataan Kapolrestabes tersebut bertentangan dengan mandat Konvensi Hak Anak (Keppres 36 Tahun 1990), CEDAW (UU Nomor 7 tahun 1984), dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam undang-undang tersebut, seharusnya negara menghadirkan mekanisme sistem peradilan yang efektif dan memberikan perlindungan terhadap korban serta menghapuskan impunitas bagi pelaku.
Eko dan koleganya mendesak penyidik bertindak proporsional dengan berlandaskan pada prinsip keberpihakan, serta mewakili kepentingan korban untuk mengungkap kebenaran. Mereka juga menuntut pemenuhan hak atas keadilan. “Penyidik berkoordinasi dengan pendamping korban serta penyedia layanan untuk pemenuhan hak korban atas pemulihan, reintegrasi, dan ketidak-berulangan,” katanya.
PR menjadi korban kekerasan seksual oleh beberapa orang. Polisi sudah menangkap enam orang yang diduga pelaku. Saat ini, enam pelaku itu ditahan polisi.
ROFIUDDIN