TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Kepala Bagian Keuangan Rumah Sakit Umum Daerah M. Yunus Bengkulu, Syafrie Syafii, mengatakan uang suap yang diberikan kepada hakim Pengadilan Negeri Kepahiang, Bengkulu, senilai Rp 1 miliar merupakan permintaan dari hakim. "Itu permintaan dari hakim," kata Syafrie ketika memasuki gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Kamis, 2 Juni 2016.
Hari ini, penyidik memeriksa Syafrie sebagai saksi terkait dengan kasus suap PN Kepahiang. Ia mendatangi gedung KPK pukul 10.15, dikawal petugas rumah tahanan. Dia hanya sebentar menjawab pertanyaan wartawan, lalu masuk ke gedung KPK.
Syafrie ditetapkan sebagai tersangka penyuapan terhadap hakim PN Kepahiang bersama Wakil Direktur Utama RSUD M. Yunus Bengkulu Edi Santroni. Tersangka lainnya dalam kasus suap ini adalah Ketua PN Kepahiang Janner Purb;, hakim adhoc tindak pidana korupsi PN Bengkulu, Toto; serta panitera PN Bengkulu, Badaruddin Amsori Bachsin alias Billy.
Syafrie dan Edi berperan sebagai penyuap, sedangkan Janner Purba dan Toton penerima suap. Adapun Badaruddin diduga berperan mengatur proses administrasi perkara korupsi penyalahgunaan honor RSUD M. Yunus Bengkulu yang sedang bergulir di pengadilan.
Korupsi penyalahgunaan dana RSUD ini diduga berawal dari terbitnya Surat Keputusan Gubernur Nomor Z.17XXXVIII tentang Tim Pembina Manajemen RSUD M. Yunus. SK ini ditengarai bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 yang mengatur keberadaan Dewan Pengawas Rumah Sakit.
Berdasarkan Permendagri tersebut, Badan Layanan Umum Daerah tidak mengenal tim pembina. Akibat SK itu, negara diduga rugi Rp 5,4 miliar. Dalam kasus korupsi RSUD ini, Syafrie dijadikan tersangka. Perkara suap terhadap dua hakim PN Kepahiang diduga terkait dengan kasus rasuah yang sedang menjerat Syafrie.
ARKHELAUS W. | MAYA AYU PUSPITASARI