TEMPO.CO, Malang - Enam tenaga kerja wanita menjadi tahanan kota di Hong Kong sepanjang Januari-Mei 2016. Mereka divonis bersalah atas tuduhan memalsukan identitas pada paspor.
Vonis yang mereka terima adalah 6-9 bulan penjara atau lebih ringan dari ancaman hukuman yang seharusnya mereka terima, yakni 11-15 bulan.
Jumlah hukuman didiskon karena pengadilan menganggap kesalahan mereka sebagai kesalahan kriminal pertama. Selain itu, dalam perkara yang sama, saat ini ada 18 TKW yang sedang menjalani proses persidangan.
Menurut Marjenab, Koordinator Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI), di Jakarta, jumlah TKW yang dihukum dan dipenjara di Hong Kong karena tuduhan pemalsuan data pada paspor akan terus bertambah sejak pemerintah memberlakukan paspor biometrik pada Januari 2015.
Selain itu, sejak paspor biometerik berlaku, banyak buruh migran terpaksa memutuskan kontrak dan pulang ke Tanah Air karena takut dipenjara di Hong Kong.
Sebagai tahanan kota, keenam buruh migran tersebut dikenai hukuman wajib lapor ke Departemen Imigrasi Hong Kong. Jadwal lapor disesuaikan dengan panggilan pihak imigrasi setempat.
Padahal, menurut Marjenab, kesalahan tersebut bukan sepenuhnya menjadi kesalahan mereka. Pemalsuan data paspor merupakan salah satu praktek perdagangan orang atau human trafficking sehingga pemerintah Indonesia seharusnya menghukum perusahaan pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta atau PPTKIS—dulu bernama perusahaan penyalur jasa tenaga kerja Indonesia atau PJTKI—yang memalsukan data buruh migran di paspor.
“Seharusnya pemerintah menghukum PPTKIS/PJTKI yang memalsukan dan bukan sebaliknya. Sekarang ini, apabila tidak ada pendekatan cepat dan kesepakatan dengan pemerintah Hong Kong, mungkin makin banyak buruh migran Indonesia yang jadi korban tuduhan pemalsuan data pada paspor,” katanya kepada Tempo, Rabu petang, 1 Juni 2016.
Dari survei JBMI terhadap buruh migran di Hong Kong sepanjang Januari-Maret lalu, ditemukan pemalsuan nama sebanyak 15,5 persen serta pemalsuan tanggal, bulan, dan tahun kelahiran sebanyak 31 persen.
Pelaku utama pemalsuan adalah PPTKIS yang memberangkatkan TKI ke Hong Kong. Pemalsuan bertujuan agar buruh migran bisa masuk dan bekerja di Hong Kong. Masalahnya, aparat penegak hukum tidak bisa menindak PPTKIS.
Menurut Eni Lestari, aktivis JBMI di Hong Kong, aparat penegak hukum di Hong Kong tidak bisa menindak PPTKIS lantaran di Hong Kong tidak ada regulasi perdagangan manusia.
Walhasil, keenam TKW yang menjadi tahanan kota dan 18 orang yang sedang menjalani persidangan hanya didakwa sebagai pelaku pemalsuan data paspor.
Salah satu wanita buruh migran terakhir yang jadi tahanan kota bernama Suyanti. Dalam persidangan di Shatin Magistracy Court pada 26 Mei lalu, perempuan asal Kabupaten Blitar, Jawa Timur, itu divonis hukuman penjara 12 bulan. Namun hukuman Suyanti dipotong hingga tinggal 6 bulan. Potongan hukuman diberikan karena Suyanti mengaku bersalah telah membohongi Departemen Imigrasi Hong Kong.
Kesalahan Suyanti berpangkal pada tahun kelahirannya yang dikoreksi Kantor Imigrasi Malang. Suyanti bekerja pada satu majikan sepanjang 2000-2007. PPTKIS yang memberangkatkannya mengubah tahun kelahiran dari 1984 menjadi 1980.
Nah, pada Maret 2016, Suyanti berangkat ke Hong Kong lagi untuk bekerja di rumah majikan yang lama. Namun, ternyata, tahun kelahiran di paspornya yang diterbitkan Kantor Imigrasi Malang telah berubah. Dia kemudian mengajukan pembuatan kartu identitas di Kantor Imigrasi Hong Kong karena kartu identitas lama hilang.
Saat jadwal pengambilan pada 28 April, Suyanti disuruh petugas mendatangi Bagian Investigasi Kantor Imigrasi di Kowloon Bay. Suyanti langsung ditahan dan dua hari kemudian diadili di Pengadilan Fanling.
ABDI PURMONO