TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Majelis Hukum Muhammadiyah Trisno Raharjo mengatakan ada kelemahan dari naskah Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. UU yang berangkat dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 ini dinilai masih perlu banyak perubahan.
Trisno mengkritisi pasal 13 a yang dianggap berpotensi menuduh seseorang sebagai teroris. Ia menyebut pasal ini sebagai pasal Guantanamo. "Kalau tidak hati-hati, nanti orang khotbah bisa ditangkap," katanya di gedung DPR/MPR, Jakarta, Rabu, 1 Juni 2016.
Pasal 13 a berbunyi: "Setiap orang yang dengan sengaja menyebarkan ucapan, sikap atau perilaku, tulisan, atau tampilan yang dapat mendorong perbuatan atau tindak kekerasan atau anarkisme atau tindakan yang merugikan individu atau kelompok tertentu dan/atau merendahkan harkat dan martabat atau mengintimidasi individu atau kelompok tertentu yang mengakibatkan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun."
Menurut Trisno, dalam RUU Terorisme, tidak ada kriteria jelas untuk menetapkan seseorang sebagai teroris. Ia menyarankan semua harus melalui proses hukum.
Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Amirsyah Tambunan menambahkan, lembaganya mengapresiasi RUU ini, sepanjang tidak merugikan kelompok agama tertentu dan tidak diskriminasi. "Jangan jadikan RUU ini instrumen kriminalisasi kegiatan keagamaan," ujarnya.
AHMAD FAIZ