TEMPO.CO, Ponorogo – Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menanggapi pro-kontra peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) tentang hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Menurut dia, perbedaan sudut pandang telah dilalui melalui diskusi panjang antara kementerian dan lembaga negara, serta lembaga swadaya masyarakat.
Setelah Presiden Joko Widodo menandatangani Perpu No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, kata Khofifah, para pihak terkait akan menjalankannya. "Kementerian dan lembaga akan patuh," katanya di sela-sela peringatan ulang tahun Muslimat Nahdlatul Ulama ke-70 dan pelantikan Pimpinan Cabang NU se-eks Karesidenan Madiun di Pendapa Pemerintah Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Ahad sore, 29 Mei 2016.
Khofifah menilai perpu tersebut bertujuan memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan seksual. “Sekarang bagaimana caranya kita berupaya ikhtiar melindungi anak-anak,” ujar Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat ini.
Dia belum bisa memastikan perpu tersebut akan efektif atau tidak. Sebab, perpu itu baru saja diteken dan belum diterapkan. Khofifah menyatakan penilaian tersebut juga harus memperhatikan efektivitas peraturan serupa di beberapa negara yang sudah menerapkan tambahan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Negara itu di antaranya Inggris, Korea Selatan, serta beberapa negara bagian di Australia dan Amerika. “Di Inggris sudah ada seratus orang minta dikebiri karena tidak ingin merugikan anak-anak. Kebiri kimia mestinya dilihat bagian dari terapi,” Khofifah menjelaskan.
Kebiri kimia merupakan salah satu pemberatan hukuman bagi pelaku pedofilia yang korbannya dicabuli berkali-kali. Pemberatan hukuman lainnya adalah publikasi identitas pelaku dan pemasangan deteksi elektronik berupa chip.
Sebelumnya, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai perpu hukuman kebiri merupakan aturan yang percuma. Perpu itu dianggap gagal menjawab permintaan publik terkait dengan kajian, analis, dan data mengenai jumlah vonis pidana bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
“Bagi kami perpu ini bukan hanya percuma, tapi juga memalukan,” kata peneliti dari ICR, Erasmus Napitupulu, di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
NOFIKA DIAN NUGROHO