TEMPO.CO, Yogyakarta– Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Gunungkidul mencatat luas area tanam kedelai di kabupaten tersebut terus menyusut dari tahun ke tahun. Sejumlah faktor dinilai menjadi penyebab kian menurunnya minat petani dalam menanam kedelai, dari harga jual yang kurang menarik hingga membanjirnya kedelai impor di pasar.
Banyaknya gangguan hama juga membuat para petani beralih menanam komoditas lain. “Makin banyak lahan kedelai yang beralih ke tanaman lain,” kata Kepala Bidang Bina Produksi Dinas Tanaman Pangan Hortikultura Gunungkidul, Raharjo Yuwono, kepada Tempo, 29 Mei 2016.
Rahardjo menuturkan di sejumlah kecamatan yang dulunya menjadi sentra penanaman kedelai kini para petaninya sudah mulai meninggalkan kedelai. Hal itu terjadi di Kecamatan Tepus, Panggang, Rongkop, dan Girisubo. Dari empat kecamatan tersebut, Rongkop bahkan sama sekali tak mengagendakan penanaman kedelai pada musim hujan (MH) I dan II pada tahun ini. Adapun Kecamatan Panggang, dari MH I yang masih menyisakan 4 hektare lahan untuk kedelai, pada MH II sudah menghapus penanaman kedelai. “Petani beralih menanam kacang tanah dan tanam padi gogo,” ujar Raharjo.
Pemerintah Gunungkidul mencatat ada penurunan luas panen kedelai di Gunungkidul sebesar 27,77 persen dibanding pada tahun lalu. Saat panen kedelai pada Februari lalu, empat kecamatan mencatat luas lahan panen terbesar, yakni di Karangmojo mencapai 415 hektare disusul Kecamatan Semin sebesar 247 hektare, Kecamatan Nglipar seluas 209 hektare, dan Ngawen 135 hektare.
Adapun di 14 kecamatan lain luasan lahan panen kedelai di bawah 100 hektare atau malah tak ada sama sekali atau nol hektare, seperti di Kecamatan Tepus, Tanjungsari, Rongkop. Tiga daerah yang sama sekali tak memiliki luasan lahan panen kedelai itu ada di bagian selatan pesisir Gunungkidul.
Meskipun lahan panen terus menurun, kata Rahardjo, produktivitas atau keuntungan dari kedelai yang panen saat MH 1 mencapai 12,38 kubik per hektare. Angka itu sama seperti tahun lalu. Tahun ini pemerintah Gunungkidul hanya berani memprediksi luas tanam sampai Desember 2016 hanya akan tercapai 8.300 hektare atau jauh di bawah target pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu 14 ribu hektare.
Meski petani tak lagi menanam kedelai dan beralih ke tanaman lain, Gunungkidul tetap mendapat alokasi bantuan benih kedelai dari pusat. Bantuan benih itu ditujukan untuk memperbesar kuota lahan panen hingga 2.000 hektare. Benih-benih tersebut sudah ditanam di masa MH 2 atau pada Febuari–Maret 2016 lalu.
Ketua Koperasi Perajin Tahu dan Tempe Indonesia (Primkopti) Kabupaten Gunungkidul, Tri Harjono, mengatakan petani tak mau menanggung rugi saban tahun dengan tetap menanam kedelai. Berbeda, misalnya, bila mereka menanam padi. Para petani, kata dia, selama ini selalu menjadi pihak yang dirugikan. Misalnya, saat terjadi pelemahan nilai tukar rupiah, harga kedelai lokal petani ikut anjlok. “Kalah dengan kedelai impor yang lebih murah,” ujar dia.
Harjono memperkirakan hasil panen kedelai lokal hanya separuh dari kebutuhan produksi tahu-tempe yang mencapai 200 ton per bulan. Dia mengatakan diperlukan langkah serius untuk menjaga petani tetap merasa aman menanam kedelai. Pemerintah, kata dia, seharusnya bisa memberikan subsidi saat harga pasaran anjlok gara-gara nilai tukar melemah. Misalnya, saat harga jual kedelai lokal hanya Rp 7.500 per kilogram, pemerintah bisa mendongkrak harga jual menjadi Rp 9.000 per kilogram. Harga jual ke pembeli tetap, namun pemerintah memberian subsidi Rp 1.500 per kilogram. “Kalau begitu petani akan antusias meningkatkan produksi,” kata dia.
PRIBADI WICAKSONO