TEMPO.CO, Sidoarjo - Andi Susila tampak tegar saat diwawancarai wartawan di pabrik rotan tempatnya bekerja di wilayah Tanggulangin, Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Salah seorang pengusaha korban lumpur Lapindo itu menceritakan lika-liku perjalanan hidupnya pasca-tragedi semburan lumpur panas satu dekade silam.
Pria 50 tahun itu mengisahkan cara dia berupaya agar bisa bertahan. Hasilnya, saat ini Andi bisa menjadi kepala produksi pabrik rotan PT Cahaya Sejati, pabrik milik temannya yang juga pengusaha korban lumpur. "Alhamdulillah ada teman yang mau menampung saya sekadar untuk menyambung hidup," katanya beberapa waktu lalu.
Sebelum tragedi semburan lumpur Lapindo yang menyebabkan pabriknya tenggelam, Andi dikenal sebagai pengusaha mebel berkualitas ekspor. Jumlah karyawannya 160 orang. Setiap bulan pabriknya mampu mengekspor beragam mebel yang dimuat dalam sekitar 30 kontainer ke Jepang dengan nilai miliaran rupiah.
Namun tragedi semburan lumpur Lapindo, yang terjadi pada 29 Mei 2006, membalik nasib dan perjalanan hidup serta usahanya. Dulu Andi berstatus sebagai pemilik pabrik, tapi kini dia sebatas menjadi buruh pabrik, meski dengan status kepala produksi. Penghasilan yang ia peroleh jomplang.
Sebelum bekerja di pabrik temannya itu, Andi mengaku sempat punya usaha fried chicken dan berjualan beras. Namun kedua usaha itu gulung tikar. Dua rumah dan satu mobil yang digunakan sebagai modal amblas.
Dengan kondisi seperti itu, untuk bertahan menghidupi keluarganya, Andi sempat mencicipi pekerjaan sebagai sopir taksi freelance. "Padahal usaha (mebel) itu sudah saya rintis sejak 1994. Tapi semburan lumpur Lapindo menghancurkan hidup kami dan 160 karyawan kami," ujarnya, mengenang masa jayanya.
Andi mengaku, pada tahun awal-awal semburan, Lapindo telah memberikan sebagian ganti rugi tanah dan aset pabriknya. Dari total Rp 9 miliar, Lapindo hanya mampu membayar Rp 1,2 miliar. "Sebenarnya saya menerima dalam keadaan terpaksa, daripada tidak dibayar sama sekali," ucapnya.
Selama ganti rugi miliknya belum dibayar, dia bersama pengusaha korban lumpur lain berjuang mendapatkan haknya dari Lapindo. Jalur hukum sempat mereka tempuh. Namun langkah itu tak berhasil. Untuk itu, pada momentum satu dekade semburan lumpur Lapindo, Andi berharap pemerintah hadir untuk membantu para pengusaha.
Andi dan kawan-kawan merasa dianaktirikan. Dari sebagian besar di antara mereka, pabriknya berada dalam kawasan area terkena dampak. Namun mereka tidak mendapat perlindungan pemerintah. Mereka harus berhadapan langsung dengan PT Lapindo, melalui PT Minarak Lapindo Jaya, sebagai juru bayarnya. Nilai ganti rugi tanah ataupun bangunan lebih kecil dibanding yang didapat warga.
NUR HADI