TEMPO.CO, Makassar - Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Selatan Fadiah Mahmud menyatakan menolak peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) tentang hukuman kebiri pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
"Ini memberi kesan bahwa pemerintah lebih memikirkan pelaku dibanding korban," kata Fadiah kepada Tempo, Kamis, 26 Mei 2016.
Menurut dia, hukuman kebiri bukan upaya solutif untuk menurunkan tindak kekerasan seksual kepada anak maupun perempuan. Fadiah menilai Undang-Undang Perlindungan Anak telah mencantumkan hukuman maksimal 15-20 tahun. "Faktanya selama ini tidak ada pelaku yang mendapat hukuman maksimal itu," tuturnya.
Menurut Fadiah, pemerintah seharusnya lebih fokus untuk memperhatikan korban. Dia mengatakan penanganan terhadap korban yang sejatinya lebih diutamakan.
Secara psikologi, kata Fadiah, korban membutuhkan pemulihan jangka pendek maupun jangka panjang. Fadiah menilai memulihkan mentalitas korban butuh psikoterapi yang berkesinambungan.
"Mereka butuh pendampingan untuk memulihkan mentalitas agar dapat diterima di masyarakat," kata Fadiah.
Fadiah khawatir, seluruh korban kekerasan seksual akan mengalami stigma dan label negatif. Fadiah mengatakan secara sosial korban maupun pelaku cenderung diabaikan.
"Mereka adalah manusia yang akan melakoni kehidupan jangka panjang dan ini yang seharusnya menjadi perhatian serius," ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo meneken perpu tentang hukuman kebiri. Jokowi mengatakan terbitnya perpu karena pemerintah memandang genting kekerasan seksual terhadap anak yang dianggap makin meningkat.
Adapun Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Kota Makassar Tenri Andi Palallo merespons positif langkah Presiden menyetujui hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual. Menurut dia, pelaku memang seharusnya dihukum berat agar menjadi pelajaran berharga. "Saya bahagia sekali dengan perpu tersebut," ujarnya.
ABDUL RAHMAN