TEMPO.CO, Jakarta - Setara Institute melaporkan hasil survei Toleransi Siswa SMA Negeri di Jakarta dan Bandung Raya. Salah satu dimensi yang mereka gali adalah klaim dan kecenderungan keyakinan beragama para siswa responden.
"Studi-studi kami menunjukkan intoleransi ke dalam lebih besar, yaitu yang terhadap aliran tertentu dalam satu agama, tapi terhadap agama lain tidak," ujar Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naispospos di Cikini Raya, Jakarta, Selasa, 24 Mei 2016.
Baca Juga:
Dari total 760 siswa responden, mayoritas beragama Islam sebesar 88 persen, sedangkan Kristen 9,2 persen, Katolik 2,6 persen, Hindu 0,1 persen, dan tanpa Buddha dan Konghucu. Usia responden berkisar 15-19 tahun. Laki-laki merupakan responden terbesar 57 persen, dan perempuan 43 persen.
Siswa mengklaim kebenaran tertinggi atas agama yang dianutnya sebesar 97,1 persen. Dalam pertanyaan berbeda, yang menjawab agama lain tidak benar sebanyak 68,9 persen. Di sisi lain, sampel mengatakan orang yang tidak beragama sebagai tidak bermoral dan/atau kafir.
Penelitian ini juga menyoroti isu perbedaan dalam Islam. Pertanyaan: apakah setuju untuk membatasi perkembangan aliran tertentu seperti Ahmadiyah dan Syiah mendapat respons tidak setuju sebanyak 255 responden atau 41 persen. Sisanya, 224 responden atau 36 persen menjawab setuju, dan 145 responden atau 23 persen menjawab tidak tahu/tidak menjawab.
Pemahaman responden tentang toleransi menunjukkan sebanyak 607 responden atau 82 persen memilih arti toleransi adalah menghormati perbedaan dan menjaga agar tidak terjadi konflik. Sebanyak 128 responden atau 17 persen memilih arti toleransi adalah hanya menghormati perbedaan.
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listiyarti, yang turut aktif dalam pelatihan guru-guru, berbagi pengalaman. Dia mengatakan guru-guru mendukung sikap anti-kekerasan, tapi ketika kekerasan itu terjadi pada aliran agama tertentu, ada perbedaan sikap. "Ketika video Ahmadiyah diputar, katanya kekerasan terhadap Ahmadiyah boleh saja. Ngeri banget kalau guru-guru seperti ini menyebar," ujarnya.
Dia berpandangan, yang memegang peranan tidak kalah penting adalah guru. Penelitian ini menunjukkan pengetahuan keagamaan siswa oleh guru didapatkan angka 39,9 persen, dan oleh orang tua sebesar 23,2 persen.
Survei itu menyimpulkan, 61,1 persen dari 760 siswa yang terlibat termasuk kategori toleran; 35,7 persen intoleran pasif (puritan); 2,4 persen yang intoleran aktif; dan 0,3 persen atau sekitar 3-4 orang dikatakan berpotensi menjadi teroris.
Meski begitu, penelitian ini tak diklaim sebagai representasi siswa di Indonesia. Bonar juga menilai pelajar ada dalam taraf pencarian jari diri, masih labil dengan adanya faktor eksternal dan internal, serta peran orang tua, guru, dan Internet yang sangat vital.
AKMAL IHSAN