TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi akan membacakan tuntutan terhadap Abdul Khoir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, Senin, 23 Mei 2016. Abdul, yang menjadi terdakwa kasus korupsi pembangunan infrastruktur di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, sudah berada di pengadilan sekitar pukul 09.00.
Sambil menunggu persidangan dimulai, Abdul duduk di baris ketiga bangku pengunjung di ruang Kartika 1, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat. Ia sudah hampir satu jam duduk di bangku tersebut.
Abdul mengenakan setelan celana kain hitam dan kemeja merah jambu, yang dibalut jas hitam. Ia menggunakan sepatu pantofel yang terlihat mengkilap.
Di ruangan yang agak pengap tersebut, Abdul tampak terus menunduk. Hidung Direktur PT Windu Tunggal Utama itu seolah tak terganggu aroma cat kuat di dalam ruangan. Ruangan pengadilan ini baru saja selesai dicat.
Mata Abdul terpejam dan mulutnya terlihat berkomat-kamit. Saat dikonfirmasi, ia irit bicara. "Sidang tuntutan, apa yang mau disiapkan? Cuma berdoa," katanya ketika ditanya. "Saya pasrah dan ikhlas," ucapnya. Mulutnya kembali berkomat-kamit.
Baca Juga:
Abdul didakwa telah menyuap anggota Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Damayanti Wisnu Putranti, Rp 3,28 miliar. Uang suap ini ia gunakan untuk memuluskan proyek pembangunan infrastruktur di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Dalam surat dakwaan Abdul, jaksa penuntut menyebut ia beberapa kali bertemu dengan Damayanti bersama Julia Prasetyarini, Dessy Ariyati Edwin --keduanya asisten Damayanti-- serta Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional IX Maluku dan Maluku Utara, Amran Hi Mustary. Pertemuan itu dilakukan agar Abdul mendapatkan proyek dari program aspirasi daerah, yaitu proyek pelebaran Jalan Tehoru-Laimu dengan anggaran Rp 41 miliar.
Lalu, Damayanti meminta Abdul memberi dana untuk memuluskan proyek itu. Abdul pun meminjam uang dari Komisaris PT Cahaya Mas Perkasa, So Kok Seng alias Aseng, Rp 1,5 miliar, serta dari Direktur PT Sharleen Jaya (Jeco Group) Hong Arta John Alfred, Rp 1 miliar.
Pada 25 November 2015, Abdul meminta pegawainya di PT Windu Tunggal Utama, Erwantoro, menukar uang itu ke kurs dolar Singapura menjadi Sin$ 328 ribu. Keesokan harinya, Julia dan Dessy menyerahkan uang tersebut kepada Damayanti. Tapi Dessy dan Julia menyisihkan sebagian uang, masing-masing Sin$ 40 ribu.
Pada hari yang sama, Abdul kembali memberikan uang Rp 1 miliar kepada Damayanti melalui Dessy di kantor Kementerian PUPR. Duit itu akan digunakan untuk biaya kampanye calon kepala daerah yang diusung PDI Perjuangan.
Pada 5 Desember 2015, Damayanti memberikan Rp 300 juta kepada kandidat Wali Kota Semarang yang diusung PDIP, Hendrar Prihadi, dan calon Kepala Daerah Kendal, Widya Kandi Susanti, serta Mohamad Hilmi sebanyak Rp 300 juta. Sisanya, Rp 400 juta, digunakan Damayanti dan Rp 200 juta dibagikan kepada Dessy dan Julia.
Dalam kasus ini, KPK sudah menetapkan enam orang tersangka. Empat orang yang dicokok saat operasi tangkap tangan ialah Abdul, Damayanti, Dessy, dan Julia. Belakangan, dua kolega Damayanti di Komisi V DPR ikut terlibat, yakni politikus Partai Golkar, Budi Supriyanto, dan politikus Partai Amanat Nasional, Andi Taufan Tiro. Mereka turut dijadikan tersangka.
MAYA AYU PUSPITASARI