TEMPO.CO, Yogyarta - Menjelang peringatan hari raya Waisak, 22 Mei ini, 97 biksu dari negara kawasan Asia Tenggara berziarah selama hampir satu hari ke lima candi di Magelang dan Klaten, Jawa Tengah, serta
Mereka di antaranya datang dari Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Sri Lanka. Para biksu itu menyinggahi Candi Borobudur, Mendut, Sewu, Plaosan, dan Kalasan. Tur ziarah itu dimulai dengan doa pagi di Borobudur menjelang matahari terbit. Buddhis Tibetan dari Nepal, Geshe Tenzin Zopa, memimpin doa pagi itu.
Geshe merupakan pendiri Yayasan Pelestari Tradisi Mahayana. Ziarah dilanjutkan ke Vihara dan Candi Mendut. Geshe Tenzin ditemani Biksu Sri Pannavaro Mahathera, Ketua Vihara Mendut, Magelang, Jawa Tengah. “Biksu juga menjalankan ritual pradaksina,” kata Jamaludin Mawardi, panitia Borobudur International Buddhist Conference, ketika dihubungi Tempo 20 Mei 2016.
Menurut Jamaludin, dalam perjalanan ke Candi Sewu di Klaten, Jawa Tengah, Geshe Tenzin Zopa banyak bertanya ihwal sejarah berdirinya candi itu kepada pemandu tur lokal. Candi Sewu merupakan candi Buddha yang dibangun pada abad dinasti kerajaan Hindu. Candi Sewu terletak tak jauh dari Candi Prambanan. Ziarah dengan ritual yang sama berlangsung di Candi Plaosan dan berakhir di Candi Kalasan.
Sejumlah biksu yang mengikuti tur ziarah, pada Kamis, 18 Mei, menjadi pembicara konferensi internasional di Concourse, Taman Wisata Borobudur. Ketua Vihara Mendut, Magelang, Jawa Tengah, Biksu Sri Pannyavaro Mahathera, menyampaikan bahwa Borobudur menjadi tempat yang mengajarkan filosofi kehidupan, bukan hanya untuk rekreasi.
Borobudur mengajarkan cinta kasih, tanggung jawab, dan pengorbanan pada relief-reliefnya. Sedangkan Geshe Tenzin Zopa menyebut Borobudur sebagai monumen suci yang punya sumbangan besar bagi dunia.
Untuk penganut Buddha, mereka mudah terhubung dengan ajaran-ajaran Buddha. Sedangkan bagi masyarakat umum, mereka bisa merasakan berkah kedamaian ketika menginjakkan kaki di Borobudur. “Borobudur punya peran penting bagi perdamaian dan lekat dengan nilai-nilai kemajemukan,” kata Geshe Tenzin.
SHINTA MAHARANI