TEMPO.CO, Jakarta - Desakan pengungkapan rekayasa dalam kasus kekerasan seksual di Jakarta Intercultural School (JIS) terus bergulir. Sekelompok orang yang tergabung dalam Kawan8 mendukung tujuh terpidana dan satu korban meninggal dalam tahanan polisi terkait dengan kasus tersebut karena meyakini mereka merupakan korban rekayasa hukum.
"Keputusan kami membentuk dan menjadi relawan merupakan bagian dari tanggung jawab moral kami kepada mereka yang selama ini telah terzolimi dan tidak mendapat keadilan di mata publik," ujar Arita Zulkifli, koordinator Kawan8, dalam siaran pers, Jumat, 20 Mei 2016.
Arita dan kawan-kawannya menggelar aksi solidaritas sebagai dukungan bagi para enam petugas kebersihan dan dua guru JIS tersebut di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, malam ini. Di tengah temaram lilin, mereka memberikan testimoni, musikalisasi puisi, dan doa bersama. "Sungguh kami tidak menyangka ternyata banyak sekali kejanggalan dari kasus ini yang telah mengorbankan tidak hanya delapan orang, tetapi juga keluarga mereka yang terkena dampak dari kriminalisasi ini," kata Arita.
Dia mengatakan bukti-bukti yang diajukan di pengadilan tinggi hingga tingkat Mahkamah Agung lemah dan dipaksakan. Mata para pendukung semakin terbuka setelah membaca investigasi yang dilakukan pemilik akun Twitter @kurawa yang memaparkan sederet kejanggalan di kasus JIS. Penelisikan independen itu menjadi perbincangan hangat di berbagai forum Internet.
Investigasi itu juga mengingatkan para pembacanya bahwa kasus kekerasan seksual itu dibarengi tuntutan perdata Rp 1,6 triliun dari orang tua korban yang didukung pengacara O.C. Kaligis—saat ini ditahan terkait dengan kasus suap. Melalui pengacara kondang itu, penggugat menaikkan biaya ganti rugi dari US$ 12,5 juta menjadi US$ 125 juta. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) dan beberapa pakar hukum juga menyatakan kasus itu penuh kejanggalan. "Kami menyesal telah mempercayai cerita dan tuduhan-tuduhan yang diberitakan di media di awal 2014," ujar Arita.
Menurut Arita, Kawan8 berharap para terpidana bisa kembali berkumpul dengan keluarga mereka di rumah dan negara merehabilitasi nama baik mereka.
REZA MAULANA