TEMPO.CO, Surabaya -Pemerhati sejarah di Kota Surabaya Dukut Imam Widodo menilai langkah Pemerintah Kota Surabaya merekonstruksi ulang eks markas radio Bung Tomo kurang tepat. Pasalnya, walaupun bangunan cagar budaya di Jalan Mawar Nomor 10 Surabaya itu direkonstruksi, namun nilai sejarahnya sudah hilang.
“Kalau direkonstruksi ulang, tetap saja roh sejarahnya sudah hilang,” kata Dukut kepada Tempo, Kamis, 19 Mei 2016.
Selain itu, dia juga ragu apakah di rumah Jalan Mawar Nomor 10 itu bekas markas radio Bung Tomo atau tidak. Alasannya, sangat dimungkinkan nomor-nomornya pada masa kolonial Belanda berubah-ubah. “Lalu, para ahli warisnya juga selalu bilang tidak tahu sejarahnya, hanya dengar dari mulut ke mulut.”
Yang paling miris, kata Dukut, jika generasi penerus menanyakan tentang lokasi eks markas radio Bung Tomo yang sempat menjadi pengobar semangat perjuangan arek-arek Suroboyo. Mereka tidak akan mudah percaya karena tidak ada bentuk fisiknya yang bisa dilihat.
Menurut Dukut, solusi yang bisa membantu polemik ini adalah menghindari konflik terlebih dahulu. Di lahan itu perlu diberi penanda yang menjelaskan bahwa lokasi itu pernah digunakan Bung Tomo untuk mengobarkan semangat arek-arek Suroboyo. “Kalau bagi saya, meletakkan tetenger itu lebih baik.”
Alasannya, apabila tetap ngotot untuk rekonstruksi, maka harus mengembalikan ke bentuk awalnya pada zaman Bung Tomo. Padahal, Dukut mengaku tidak pernah menemukan gambar atau dokumen tentang bangunan itu pada zaman Bung Tomo dulu. “Bahkan, di ruang mana Bung Tomo berpidato, saya tidak menemukan dokumennya.”
Sebelumnya, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Pemerintah Kota Surabaya Wiwiek Widayati mengatakan rekonstruksi rumah cagar budaya itu akan dimulai. Meski ia mengaku masih akan mematangkan rekonstruksi itu dengan berkoordinasi dengan pemilik lama dan baru, serta tim dari Cagar Budaya Trowulan.
MOHAMMAD SYARRAFAH