TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform Supriyadi Eddyono mengungkapkan, rancangan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) terbaru sangat mungkin memperkuat "ketakutan" pemerintah terhadap paham komunisme, marxisme, dan leninisme. Sebab, pasal mengenai penanganan ideologi tersebut sangat lentur dan bisa dengan sengaja atau tak sengaja disalahartikan.
"Enggak jelas batas pidananya sejauh apa. Apa saya baca buku Marxis kemudian bisa ditangkap? Bisa-bisa enggak ada fakultas ilmu politik dan hukum lagi nanti," ujar Supriyadi dalam diskusi Buku II Rancangan KUHP di Jakarta, Kamis, 19 Mei 2016.
Pada Buku II Rancangan KUHP, penanganan pemerintah terhadap ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme diatur dalam dua pasal, yaitu Pasal 219 dan 220.
Pasal 219 menekankan beberapa hal, seperti diperbolehkannya melakukan kajian terhadap ajaran komunisme untuk kepentingan ilmiah dan tak diperbolehkannya menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme untuk mengganti ideologi. Namun tak ada batasan pasti mana yang dianggap penyebaran dan mana yang pengkajian.
Sementara itu, pada pasal 220 disebutkan bahwa hukuman pidana penjara 10 tahun akan diberikan. Salah satunya kepada mereka yang mendirikan organisasi yang menganut ajaran komunisme. Mereka yang memberi bantuan untuk organisasi berasas komunisme dan berniat mengubah ideologi negara juga akan dipidana 10 tahun.
Saat ini, Indonesia masih mengacu pada TAP MPRS untuk menindak perkara penyebaran hal berbau komunisme. Hal itu dikhawatirkan akan disalahgunakan oleh banyak pihak yang ingin memberangus kebebasan berpendapat.
Menurut Supriyadi, agar kedua pasal itu tak menjadi semakin lentur, ada dua hal yang bisa dilakukan. Pertama, mempersempit pasal tersebut pada unsur mengganti ideologi negara saja. Dalam hal tersebut, bisa ditegaskan bentuk-bentuk pidana apa yang berpotensi mengganti ideologi negara. "Bisa yang secara institusional dan kekerasan bersenjata," ujarnya.
Kedua, tidak membatasi pasal tindak pidana pada ideologi negara terhadap komunisme, marxisme, dan leninisme saja. Sebaliknya, kata Supriyadi, yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah memperluas unsur ideologi pada pasal tersebut. Sebab, semua ideologi bisa disalahgunakan untuk tindak pidana. "ISIS itu ideologinya salah dan bisa mengancam negara juga, lho. Mereka kan mengklaim mewakili Islam," katanya.
Supriyadi memahami bahwa munculnya pasal lentur kejahatan pada ideologi negara itu karena ketakutan sejumlah pihak. Namun, menurut dia, saat ini hampir tak ada lagi negara yang menganut komunisme secara murni.
"Cina itu partainya saja komunisme. Mereka sekarang cenderung lebih kapitalis. Ya, setiap negara memang memiliki hantu ideologinya, di mana kebetulan Indonesia hantunya komunisme," tuturnya.
ISTMAN MP