TEMPO.CO, Jakarta - Badan Narkotika Nasional (BNN) mengklaim telah berhasil menyita Rp 36,9 miliar aset yang didapat dari pengungkapan kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) kejahatan narkotika. Deputi Bidang Pemberantasan BNN, Inspektur Jenderal Arman Depari, mengatakan aset tersebut didapat dari pengungkapan tiga sindikat Narkotika selama periode Maret hingga April 2016.
"Yaitu jaringan Aceh-Medan, jaringan lapas Karang Intan Martapura, dan jaringan Lubuk Pakam, Medan," ujar Armand saat ditemui di kantornya, Rabu, 18 Mei 2016.
Jaringan Aceh-Medan, ujar Armand, berawal dari tertangkapnya kurir berinsial AG dan AD saat membawa 11 kilogram sabu dan 4.951 butir pil ekstasi di pusat perbelanjaan di Jalan SM Raja, Medan pada Sabtu, 19 Maret 2016.
Dari keterangan keduanya, BNN mengamankan FR dan MU yang diduga terlibat dalam jaringan pencuci uang sindikat narkotika. "Dari hasil penyelidikan, FR dan MU berperan sebagai pemesan barang dan penyandang dana transaksi narkotika," ujar Armand.
Dari hasil pemeriksaan, FR telah 15 kali terlibat dalam transaksi peredaran gelap narkoba sejak 2013. Hasil bisnis haram itu sebagian dipergunakan untuk merintis beberapa usaha di antaranya kilang padi, jual-beli mobil, dan perkebunan kelapa sawit. Usaha tersebut dilakukan agar uang hasil kejahatan narkotika dapat tersamarkan.
Dari jaringan ini petugas menyita aset senilai Rp 16 miliar yang terdiri dari 3 unit mobil, 8 unit truk pengangkut, 1 unit motor, 28 hektare perkebunan kelapa sawit, 2 unit rumah, 2 unit ruko, 1 unit gudang karet dan beberapa bidang tanah kosong di kawasan Aceh Timur.
Sementara jaringan Lapas Karang Intan Martapura, ujar Armand, terungkap berkat tertangkapnya bandar berinisial BR alias UD oleh tim BNN Provinsi Kalimantan Selatan pada 1 Maret 2016. Dari hasil pemeriksaan, BNN mengungkap adanya kasus pencucian uang dan berhasil menyeret nama MD alias KD, warga binaan lapas narkotika Karang Intan Martapura, Kalimantan Selatan.
Dari jaringan KD, BNN mengamankan aset senilai Rp 4,5 miliar yang terdiri dari empat unit mobil, tujuh unit motor, satu unit rumah, dan 10 bidang tanah bersertifikat.
KD tercatat mendekam di penjara pada 2004 karena kasus narkotika. Pada 2007 KD kembali dipenjara atas kasus yang sama. "Dia kembali berulah dan kembali mendekam dipenjara pada 2012 hingga saat ini," kata Armand.
Bisnis tersebut tetap KD jalani meski dirinya mendekam di balik jeruji besi. KD memanfaatkan izin berobat di luar untuk menjalankan bisnis narkoba. Hingga akhirnya BNN berhasil mengungkap keterlibatannya dalam jaringan narkoba.
Lebih lanjut, Armand menjelaskan terungkapnya jaringan Lubuk Pakam, Medan berawal dari tertangkapnya kurir berinisial MR alias AC saat membawa 46 ribu butir ekstasi, 20,5 kilogram sabu, dan 600 ribu happy 5 di sebuah pusat perbelanjaan di kawasan Gatot Subroto, Medan pada 1 Maret 2016.
Dari MR, didapat keterangan bahwa narkotika tersebut milik Napi Lapas Lubuk Pakam berinisial TG. TG dibantu oleh kakak kandungnya berinisial JT. Dari tangan JT, petugas berhasil menyita uang sebesar Rp 8,2 miliar.
Kasus ini menyeret nama oknum polisi AKP IL yang diduga menerima suap dari TG terkait kejahatan narkotika. Dari IL, BNN mengamankan uang tunai sebesar 2,3 miliar. TG berkomunikasi dengan IL melalui TH dan TH mendapatkan bagian Rp 500 juta dari transaksi ini. Namun saat ditangkap BNN, uang TH tinggal tersisa Rp 400 juta saja.
BNN, ujar Armand, melakukan pengembangan kasus kembali dan menemukan rekening atas nama TG yang juga dikuasi JT dengan saldo Rp 5, 459 miliar. Rekening tersebut sudah diblokir dan masih dalam pengembangan. "Sehingga total aset jaringan Lubuk Pakam Rp 16,4 miliar," katanya.
Atas perbuatan seluruh tersangka dari ketiga jaringan itu diancam pasal 137 huruf b Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
DEVY ERNIS