TEMPO.CO, Pekanbaru - Ketua Tim Koordinasi Supervisi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Wawan Warduana mengatakan KPK rutin mengutus petugasnya memantau kegiatan legislatif maupun eksekutif di Riau setiap pekan. Ini untuk membantu perbaikan sistem pengelolaan keuangan di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau.
"Setiap pekan kami utus orang ke Riau untuk memantau kegiatan pengelolaan keuangan daerah," kata Wawan, dalam Lokakarya Media Melawan Korupsi, di Pekanbaru, Selasa, 17 Mei 2016.
Wawan mengaku, Riau merupakan salah satu daerah paling korup yang menjadi perhatian KPK. Selain Riau ada dua daerah lain, yakni Banten dan Sumatera Utara.
Riau dan dua daerah tersebut menjadi pantauan KPK menyusul tingginya kasus korupsi ditangani komisi antirasuah itu. Wawan mengatakan lebih dari dua puluh tersangka korupsi, yang terdiri atas gubernur, legislator, maupun swasta, berasal dari ketiga daerah itu.
KPK berharap pendampingan ini akan mengurangi jumlah pejabat Riau yang menjadi tersangka kasus korupsi hingga nol. "Tentunya kita tidak ingin lagi gubernurnya atau legislatif berikutnya diambil oleh KPK," katanya.
Wawan menilai, tingginya kasus korupsi di Riau dampak dari komitmen menjalankan pemerintahan yang bersih sangat kurang. Ini juga didorong sikap apatis masyarakat Riau. "Pengawasan dari masyarakat kurang efektif," ujarnya.
Menurut Wawan, upaya pencegahan korupsi di Riau sebenarnya sudah jauh hari dilakukan. Berbagai program antikorupsi telah berulang kali dilaksanakan, seperti program pengendalian gratifikasi, tunas integritas bagi satuan kerja perangkat daerah, dan laporan harta kekayaan pejabat daerah. Namun tindak pidana korupsi masih saja terjadi di Riau.
"Ternyata langkah itu tidak mempan mencegah korupsi di Riau," ujarnya.
Selama melakukan pendampingan di Riau, KPK menemukan banyak faktor penyebab korupsi tumbuh subur di Riau, di antaranya kuatnya intervensi pihak luar yang ikut campur urusan pemerintahan yang dijalankan eksekutif dan legislatif. Sebanyak 70 persen perizinan masih berada di tangan SKPD.
"Korupsi tampak pada pengadaan barang dan jasa. Penganggaran tidak sesuai dengan rencana. Tidak berjalannya sistem badan perizinan," ujarnya.
Selain itu, kegiatan fiktif yang kerap dilaksanakan di SKPD hanya untuk mendapatkan honor tambahan sehingga penghasilannya berkali-kali lipat dari gaji sebenarnya. "Banyak kegiatan fiktif yang sebenarnya hanya honorarium," katanya.
Melalui koordinasi supervisi pencegahan korupsi ini, kata dia, diharapkan pengelolaan keuangan daerah di Riau berjalan lebih baik. Tidak ada lagi pejabat mendekam di balik jeruji besi.
Untuk itu kata dia, KPK telah membuat beberapa rekomendasi yang dituangkan dalam rencana aksi pencegahan korupsi yang disepakati seluruh pejabat daerah di Riau.
RIYAN NOFITRA