TEMPO.CO, Malang - Di seluruh persada Indonesia hanya Mahkamah Agung dan Pengadilan Negeri Kepanjen yang memakai sistem kamar. Tanpa penerapan sistem kamar, hakim dianggap masih bisa menangani semua perkara.
Para pencari keadilan belum sepenuhnya bisa mendapat keadilan melalui proses peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan. Ketidakpuasan pencari keadilan umumnya dikarenakan hakim tidak konsisten dalam menjatuhkan hukuman (vonis), proses persidangan bertele-tele, minutasi (pemberkasan perkara yang sudah diputus baik yang telah atau belum berketetapan hukum tetap) putusan terlalu lama, sampai proses administrasi perkara yang membingungkan.
“Kondisi demikian sangat kami sadari, makanya kami berani membuat terobosan dengan menerapkan sistem kamar. Di Indonesia, yang pakai sistem kamar hanya MA (Mahkamah Agung) dan kantor kami. Ini sebagai wujud nyata reformasi tata kelola peradilan,” kata Kepala Pengadilan Negeri Kepanjen Edward T.H. Simarmata kepada Tempo, Selasa sore, 17 Mei 2016.
Edward menjelaskan penerapan sistem kamar di hadapan 32 kepala pengadilan tingkat pertama empat lingkungan (negeri, agama, tata usaha negara, dan militer), serta 36 sekretaris pengadilan negeri dan pengadilan agama peserta Pendidikan dan Latihan Pimpinan Pengadilan dan Studi Banding Pengadilan Negeri dari Wilayah Hukum dan Pengadilan Tinggi Bali. Para peserta melakukan benchmarking di kantor Pengadilan Negeri Kepanjen mulai Selasa sampai Rabu, 18 Mei tahun ini.
Ia menjelaskan, penerapan sistem kamar untuk penanganan perkara di peradilan tingkat pertama bertujuan untuk secara drastis mengubah tata kerja pembacaan berkas dan menentukan bahwa kalender persidangan ditentukan di awal ketika pembacaan berkas dimulai. Kebijakan ini akhirnya mendukung pelaksanaan sistem kamar sekaligus memastikan penyelesaian perkara yang lebih cepat dan transparan. Dengan begitu akhirnya tak ada disparitas putusan yang terjadi.
Ketua PN nantinya dapat mengontrol hasil putusan dari majelis hakim sesuai dengan perkara dari masing-masing kamar dengan mengadakan rapat evaluasi yang diadakan tiap bulan.
Edward memastikan hingga sekarang sistem kamar yang diterapkan PN Kepanjen tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Malah, ia menegaskan, sistem kamar sangat sejalan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta bersesuaian dengan Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035 yang dirilis Mahkamah Agung.
Ia memastikan tiada keberatan dari Mahkamah Agung lantaran MA menyadari pembagian perkara merupakan diskresi ketua pengadilan negeri. “Jadi, Bapak dan Ibu sekalian, kami tetap jalan terus alias show must go on,” ujar Edo, panggilan akrab Edward.
Secara sederhana, Edward mendefinisikan, sistem kamar adalah sistem pengelompokan hakim berdasarkan kompetensi dan kewenangan masing-masing hakim. Penerapan sistem kamar di PN Kepanjen diawali keikutsertaan PN Kepanjen dalam lomba Inovasi Mahkamah Agung 2015.
Sistem kamar diuji coba lebih dulu pada Agustus 2015 atau sebulan setelah Edward menjadi kepala PN Kepanjen. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, ini memberi dua alasan penerapan sistem kamar.
Pertama, pemberlakuan Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) atau case tracking system, ketua pengadilan dituntut bertanggung jawab atas penyelesaian perkara di pengadilan. Aturan yang prinsipil, penyelesaian perkara perdata, termasuk minutasi, harus selesai maksimal dalam tempo lima bulan. Sedangkan perkara pidana harus tuntas dalam waktu empat bulan.
Kedua, kewenangan membagi perkara kepada hakim ada pada ketua pengadilan. Kewenangan ini diatur dalam Buku II Pedoman dan Pelaksanaan Administrasi Pengadilan.
Dalam sistem kamar dibentuk dua kelompok kamar hakim, yaitu pidana dan perdata. Kelompok hakim perdata berjumlah empat orang yang dipimpin ketua pengadilan dan kelompok hakim pidana berjumlah tujuh orang yang dipimpin wakil ketua pengadilan. Dalam setiap kamar mempunyai ruang sidang tetap dan kelompok panitera pengganti tetap yang bersidang bergantian.
Lalu dilakukan tiga uji coba, yakni hakim menangani semua perkara (perdata dan pidana), sistem kamar (hakim menangani berdasar jenis perkara perdata atau pidana), dan spesialisasi sistem kamar. Dengan memakai sistem kamar, maka hakim bekerja berdasarkan jenis perkara perdata atau pidana. Sedangkan dengan memakai spesialisasi dalam sistem kamar, hakim menangani berdasarkan kualifikasi perkara. Perkara pidana, misalnya, narkoba, pencurian, dan penganiayaan. Perkara perdata, contohnya, perbuatan melawan hukum (PMH), wanprestasi, tanah, dan cerai.
“Dari uji coba itu, kami berkesimpulan bahwa spesialisasi dalam sistem kamar dapat mempercepat penyelesaian perkara dan hakim lebih punya waktu untuk belajar guna memperdalam pertimbangan dalam putusan, serta logika hukum semakin tajam,” kata Edward, pria kelahiran Medan, 46 tahun silam tersebut.
Berdasarkan hasil uji coba pula, maka sejak 7 Januari 2016 sistem kamar diberlakukan permanen di PN Kepanjen, dengan penajaman “Spesialisasi Ketua Majelis”.
Dalam perkara pidana, hakim tertentu menangani perkara anak, lingkungan hidup, penganiayaan, narkotika, pencurian, senjata tajam, serta penipuan atau penggelapan, misalnya begitu. Dalam perkara perdata, hakim tertentu fokus menangani perkara, antara lain, perbuatan melawan hukum, wanprestasi, dan cerai.
ABDI PURMONO