TEMPO.CO, Ponorogo – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia kembali mengunjungi penderita sakit jiwa yang dipasung oleh keluarganya di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Selasa, 17 Mei 2016. Jika sehari sebelumnya Komisi mengunjungi dua penderita di Desa Tatung, Kecamatan Balong, kali ini sasarannya tiga orang di Desa Carangrejo, Kecamatan Sampung.
"Setelah ini kami menuju Blitar, Sampang, Lamongan, dan Rumah Sakit Jiwa Menur di Surabaya. Juga ke Aceh, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi," kata Koordinator Subkomisi Pemantauan dan Investigasi Komnas HAM, Siane Indriani.
Menurut dia, kunjungan tersebut bertujuan mengetahui kondisi riil penderita sakit jiwa yang dibelenggu keluarganya. Adapun hasilnya dijadikan bahan kajian bersama dengan pihak terkait di antaranya pemerintah daerah, rumah sakit jiwa, dan kementerian. Baru setelah itu ditentukan metode-metode yang bakal dijalankan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Baca: Indonesia Masih Doyan Pasung “Orang Gila”
Siane menuturkan, pemasungan bukan solusi bagi penderita sakit jiwa. Pengekangan justru dapat memperparah kondisi kejiwaan penderita lantaran tidak bisa menjalankan kegiatan sesuai dengan keinginannya. "Tujuan pendataan ini supaya (penderita) didekati secara manusiawi. Penderita ini kan manusia,” ucapnya.
Namun, Siane mengatakan, penderita sakit jiwa sering dianggap sebagai beban keluarga dan membahayakan bagi lingkungan sekitarnya. "Memperlakukan secara tidak manusiawi karena menganggap penyakit jiwa sebagai kutukan, bukan sebagai penyakit yang harus diobati,” tuturnya.
Baca: Mengerem Laju Penderita Gangguan Jiwa
Suyatno, Kepala Dusun Bulurejo, Desa Carangrejo, Kecamatan Sampung, mengatakan tiga warganya yang menderita sakit jiwa sengaja dibelenggu oleh keluarganya karena membahayakan orang lain. Saat belenggu dilepas, mereka sering mengamuk dengan memecah kaca rumah dan memukuli warga. "Kami berharap, kalau memang mereka bisa disembuhkan, ya, disembuhkan. Kalau tidak, agar kesejahteraan keluarga ditingkatkan,” katanya.
Penderita sakit jiwa, kata Suyatno, hidup di bawah garis kemiskinan. Keluarga tidak bisa memeriksakan penderita tersebut ke rumah sakit khusus secara rutin karena terbentur biaya. Bahkan dua di antara penderita hanya hidup bersama ibunya yang sudah renta.
NOFIKA DIAN NUGROHO