TEMPO.CO, Yogyakarta - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Yogyakarta, Untung Supriyanto, mendesak pemerintah dan instansi terkait mengawasi peredaran minuman keras di masyarakat. “Kasus miras oplosan ini terus muncul dan tak selesai-selesai, meskipun ceritanya sama. Kami tak pernah tahu progres penindakan kasus sebelumnya dan upaya preventifnya seperti apa,” katanya, Selasa, 17 Mei 2016.
Dia mencatat, kasus warga tewas akibat menenggak minuman keras oplosan terus bertambah. Februari lalu, 25 orang yang sebagian mahasiswa tewas setelah menenggak minuman keras yang dicampur dengan etanol. Pekan lalu, 13 orang tewas akibat kasus yang sama. “Terus munculnya kasus ini seharusnya menjadi acuan penindakan dan pencegahan, tidak bisa sekadar melakukan razia seusai kejadian lalu muncul lagi dengan cerita yang sama,” ucap Untung.
Menurut dia, kepolisian seharusnya melibatkan pemerintah dan masyarakat untuk mengagendakan razia intensif dan rutin, terutama di perkampungan dan pelosok desa. “Dari kasus yang muncul, penjualan minuman oplosan muncul di perkampungan penduduk," ujar Untung. "Penjual bisa bertahan entah karena ada pihak yang melindungi atau menjaga sehingga bisa terus berjualan."
Pemerintah Kota Yogyakarta mensinyalir rentannya peredaran minuman oplosan setelah Kementerian Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang larangan penjualan minuman beralkohol golongan A di minimarket yang berlaku mulai April 2015.
Kepala Seksi Operasional Satuan Polisi Pamong Praja Yogyakarta Bayu Laksmono kepada Tempo memprediksi aturan pelarangan minuman keras di minimarket memang berpotensi memicu peredaran miras di luar, terutama yang oplosan. “Butuh aturan pendukung yang lebih spesifik untuk menindaknya,” tuturnya.
PRIBADI WICAKSONO