TEMPO.CO, Jakarta - Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golongan Karya mengangkat Setya Novanto sebagai Ketua Umum Golkar periode 2016-2019. Kemenangan Setya terjadi lewat drama mundurnya Ade Komarudin alias Akom.
Setya dan Akom seharusnya melanjutkan pertarungan mereka di putaran kedua. Mereka sama-sama meraih lebih dari 30 persen suara.
Akom mengatakan keputusan tersebut diambil setelah berkonsultasi dengan tim suksesnya dan Aburizal Bakrie. "Usia saya masih muda, baru 50-an tahun. Pak Novanto sudah 60 tahun. Masih ada kesempatan untuk saya pada masa mendatang," ucapnya di Nusa Dua Convention Center, Bali, Selasa, 17 Mei 2016.
Selama penghitungan suara berlangsung, Akom terlihat mengambil jarak dengan Setya yang duduk di sebelah kirinya. Posisi duduknya justru condong menyender ke arah kanan. Jarang sekali kepalanya ditolehkan ke arah Setya.
Setya sendiri sesekali terlihat berbicara dengan Airlangga Hartarto yang duduk di sampingnya. Tapi hampir tidak ada interaksi antara Akom dan Setya.
Sikap Akom tersebut berubah kala perolehan suaranya mendekati ambang batas 30 persen. Dia mulai berbicara dan tersenyum pada Setya. Sesaat setelah perhitungan suara dinyatakan sah, Akom justru memutuskan mendukung Setya. "Ini demokrasi. Yang paling penting untuk kebaikan Partai Golkar yang mau rekonsiliatif," ujar Akom memberikan alasan pengunduran dirinya.
Sehari sebelumnya, Akom dan para calon ketua umum lain, kecuali Setya, berkumpul menyatakan sikap menolak mekanisme voting terbuka. Perkumpulan itu menyinggung pula isu adanya gerakan untuk mengarahkan agar pemilihan dilakukan secara terbuka.
Belakangan, Setya yang merasa disudutkan karena tidak diajak ikut menyatakan sikap. Ia mengaku tidak mengarahkan agar voting dilakukan secara terbuka. "Terbuka atau tertutup, kami siap," ujarnya.
Sidang paripurna Munaslub Gokar akhirnya mengetuk palu dan menyetujui voting secara tertutup. Akom berpeluang menjadi ketua umum, berhadapan satu lawan satu dengan Setya. Tapi ia memutuskan mundur.
AHMAD FAIZ