TEMPO.CO, Ponorogo – Tim Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengunjungi penderita sakit jiwa yang dibelenggu oleh keluarganya di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Senin petang, 16 Mei 2016. Kedatangan tim untuk mendata dan merumuskan penyelesaian permasalahan sosial tersebut.
"Nanti kami melakukan diskusi-diskusi tentang langkah apa yang bisa dilakukan. Hal ini merupakan tanggung jawab pemerintah, masyarakat, dan keluarga," kata Koordinator Sub-Komisi Pemantauan dan Investigasi Komnas HAM, Siane Indriani, saat meninjau salah seorang penderita sakit jiwa di rumahnya yang masuk wilayah Kecamatan Balong, Ponorogo, Jawa Tiimur. (Baca: Indonesia Masih Doyan Pasung 'Orang Gila')
Di Ponorogo, kegiatan pendataan dijadwalkan selama dua hari terhitung Senin hingga Selasa, 17 Mei 2016. Pendataan akan diteruskan ke beberapa daerah di Indonesia. Salah satunya Sulawesi. Sebab, kondisi faktor perlakuan keluarga, latar belakang pembelengguan, dan sikap dari warga di sekitarnya berbeda-beda.
Siane mengatakan penderita sakit jiwa sering dianggap sebagai beban keluarga dan membahayakan bagi lingkungan sekitarnya. "Memperlakukan secara tidak manusiawi karena menganggap (penyakit jiwa) sebagai kutukan, bukan sebagai penyakit yang harus diobati," ujarnya.
Kurangnya pemahaman masyarakat tersebut, Siane melanjutkan, justru memperparah beban psikologis penderita sakit jiwa. Mereka merasa tidak diperhatikan keluarga dan menahan beban emosional lainnya. "Mereka seharusnya mendapat hak pengobatan dan memperbaiki kualitas hidup," kata Siane. (Baca juga: Pemerintah Repot Tangani Pemasungan, Ini Kendalanya)
Sriani, salah seorang ibu di Ponorogo, mengungkapkan selama ini ia mengandalkan pengobatan alternatif untuk menyembuhkan IW, 10 tahun, anaknya yang menderita sakit jiwa. "Hanya ke dukun karena kata bu bidan kepala anak saya terlalu kecil," ucap Sriani saat berbincang dengan tim Komnas HAM yang mengunjungi rumahnya.
"Kami tali kakinya agar tidak bisa ke mana-mana. Kami khawatir dia masuk ke sumur," ujar Sriani. Dia mengaku pembelengguan dilakukan saat kedua orang tuanya bekerja sebagai buruh tani dan saudaranya belajar di sekolah, yakni pukul 07.00 hingga 10.00. (Baca juga: 764 Orang Gila Dipasung di Jatim)
NOFIKA DIAN NUGROHO